Minggu, 18 Agustus 2013

mendidik dengan cerita


BAB I PENDAHULUAN A. Deskripsi Buku  Judul Buku : Mendidik Dengan Cerita  Judul Asli : Al-Qissah Fi Al-Tarbiyah  Penulis : Dr. Abdul Azis Abdul Majid  Penerbit : PT Remaja Rosdakarya Jl. Ibu Inggit Ginarsih No. 40, Bandung 40252 Tlp. (022) 5200287, Faks. (022) 5202529 e-mail : rosda@indosat.net.id website : www.rosda.co.id  Penerbit Asal : Daar Al Maarif, Mesir  Penerjemah : Neneng Yanti Kh. dan Iip Dzulkifli Yahya  Editor : Susan Sandiasih  Layout : Dedi Junaedi  Desainer Sampul: Haryanto  Ilustrasi Sampul dan isi: Toto Rianto  Cetakan : November 2008, RR. UM 0080-04-2008  No ISBN : 979-692-087-5  Ukuran Buku : Panjang 20,8 cm dan Lebar 14,8 cm  Tebal Buku : 205 Halaman B. Gambaran Sekilas Isi Buku Mendongeng atau bercerita adalah salahsatu keterampilan yang sangat imajinatif dan komunikatif bagi anak. Didalam dongeng itu sendiri terdapat muatan-muatan mendidik yang tidak tersirat juga tidak menggurui. Anak pun bisa mencerna sesuai perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap cerita yang dibawakan. Dalam buku ini menawarkan solusi jitu dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam kesulitan bercerita. Penulis memberikan kisi-kisi agar sebuah cerita bisa diminati anak-anak. Lewat cerita yang bermuatan petuah-petuah agama dalam buku ini menegaskan bahwa bercerita pada anak sangatlah besar peranannya. Dalam buku ini juga, penulis menyajikan berbagai metode dalam penyampaian cerita supaya cerita tersebut terkesan menarik. Serta penulis menghadirkan beberapa contoh cerita dan petunjuk khusus cerita tersebut, yang sangat menarik juga imajinatif. Selain berisikan teori-teori pendidikan dalam bercerita, seperti bahasa dan gaya bahasa, cara bercerita, hasil evaluasi hasil pengungkapan kembaliatau peragaan para siswa sendiri, penulis juga memperhatikan secara seksama tentang cara penerapannya. Buku ini mencakup 30 cerita yang sebaiknya disampaikan kepada anak-anak yang berusia antara 7 sampai 10 tahun. Pada setiap cerita, penulis sertakan petunjuk penting yang akan bermanfaat bagi guru atau orangtua dalam bercerita. C. Alasan Memilih Buku Seperti yang telah kita ketahui bersama, kini budaya mendongeng atau bercerita yang dulu menjadi sarana pendidikan dan pengantar tidur anak, telah mengalami degradasi yang cukup menghawatirkan. Kini, istilah dongeng ini sudah menjadi sesuatu yang sangat asing dan tidak menarik lagi bagi seorang anak. Mereka tidak membutuhkan lagi penina bobo yang mengantar tidur anak. Karena sang anak telah menemukan pengganti baru, seperti play station, VCD player, dan lain sebagainya. Mengapa demikian? apa yang menyababkan terjadi hal seperti itu?. Kemungkinan hal tersebut bisa terjadi dikarenakan anak-anak mulai bosan dengan cerita-cerita yang tidak menarik dan hanya itu-itu saja. Dan langkanya buku yang dapat dijadikan pegangan oleh guru atau orangtua, yaitu buku yang dapat dijadikan sebagai petunjuk mengenei pentingnya cerita dalam pendidikan, juga buku yang bertema sesuai untuk anak yang meliputi imajinasi, bahasa dan gaya bahasa, cara berbicara, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam buku ini terdapat sebuah bentuk upaya yang memenuhi kelangkaan-kelangkaan buku dan masalah-masalah tersebut. Itulah slah satu yang menjadi dasar kenapa saya memilih buku yang berjudul MENDIDIK DENGAN CERITA. Buku ini sangat bermanfaat dan dapat menjadi pegangan guru, orangtua ataupun orang yang memiliki perhatian dalam pengajaran, mereka akan sangat terbantu dalam memilih cerita yang bak untuk anaknya dan bagaimana pula cara menyampaikannya, supaya imajinasi anak dapat berkembang. Yang semoga dengan hal ini, sedikitnya bisa memotivasi para pembaca agar diharapkan dapat membudayakan kembali budaya mendongeng yang banyak nilai positifnya ini. BAB II RESUME BUKU A. BAGIAN PERTAMA 1. Cerita Dalam Fase Awal Belajar Fase awal belajar adalah masa yang dilalui sebelum anak memasuki fase belajar lanjutan, selepas mereka dari usia balita hingga menjelang akhir masa kanak-kanak, seklah dasar, sampai anak memasuki sekolah lanjutan pertama. Masa ini adalah masa menjelang usia dewasa. Anak mulai dapat mendengarkan cerita sejak ia dapat memahami apa yang terjadi di sekelilingnya. Dan mampu mengingat apa yang dismpaikan orang kepadanya. Hal itu biasanya terjadi pada akhir usia 3 tahun. Pada usia ini anak mampu mendenarkan dengan baik dan cermat cerita pendek yang sesuai untuknya, yang diceritakan kepadanya. Ia bahkan akan meminta cerita tambahan. Tingkat TK atau SD menjadi tempat pertama anak-anak. Ditempat ini anak memperoleh pendidikan dasar dan lebih cepat mendapat pengaruh dan lebih mudah dibentuk kepribadiannya. Disinilah pentingnya sekolah dasar untuk menjauhkan anak dari pengaruh lingkungan yang beruk baik secara jasmani, akal, moral maupun kepekaan rasanya, sehingga dapat menempatkannya pada lingkungan yang baik. Dari sini terlihat bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi di sekolah dasar lebih banyak dan lebih sulit dibandingakan pada tingkat berikutnya. Dan ditingakat ini anak belum mampu membaca cerita sendiri dengan baikdan benar. Maka tugas gurulah untuk menceritakannya dengan penyampaian dan pengungkapan cerita yang baik. Jika dilakukan dengan penuh kesabaran, sebuah cerita akan dapat membangkitkan kehidupan yang baru, manambah nilai seni, dan anak sebagai pendengar dapat menikmatinya. Seorang yang memperhatikan anak yang sedang menyimak cerita meskipun usia mereka berbeda, akan tahu bahwa kadar keseungguhan mereka sama besarnya. Dalam cerita terdapat ide, tujuan, imajinasi, bahasa dan gaya bahasa. Unsur-unsur tersebut berpengaruh dalam pembentukan pribadi anak. Dari sinilah tumbuh kepentingan untuk mengambil manfaat dari cerita disekolah, pentingnya memilih cerita dan bagaimana cara menyampaikannya pada anak. Oleh karena itu, penetapan pelajaran cerita pada masa awal sekolah dasar bagian terpenting dari pendidikan. Usaha siswa untuk menyampaikan kembali cerita yang telah didengarnya atau menjawab soal yang diajukan kepadanya adalah latihan untuk memnungkapkan ide-idenya dengan bahasanya sendiri. Dalam hal ini guru dapat memperbaiki susunan ide dan penyampaikannya, mengetahui kemampuan siswa dalam menangkap cerita, dan mungkin juga memperbaiki bahasa dan gaya bahasanya. Dalam latihan bercerita, murid juga harus diperkenalkan dengan seni bercerita yang dapat menimbulkan kecintaannya, kecintaan ini tidak akan terwujud tanpa latihan. Dari sini akan tumbuh keberanian anak untuk bercerita dan akan memotivasi mereka. Dan peragaan para siswa terhadap beberapa cerita merupakan bentuk lain dari cerita pengungkapan yang akan berkesan dengan ekspresi tubuh dan perasaan. Hal itu menjadi salah atu tujuan pengajaran cerita yang dapat membantu anak dalam mengungkapkan idenya secara hidup dan ekspresif. Cerita seyogyanya tidak membuat anak takut atau cemas, justru sebaliknya, cerita harus membuat mereka senang dan termotivasi untuk menjadi pemberani. 2. Cerita Dalam Pendidikan Cerita merupakan salah satu bentuk sastra yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri. Akan menyenangkan bagi anak-anak maupun orang dewasa, jiga pengarang, pendongeng, dan penyimaknya sama-sama baik. Cerita adalah salah satu bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa membaca. Dalam cerita, ada beberapa hal pokok yang masing-masing tidak bisa dipisahkan, yaitu: a. Karangan adalah pembuatan cerita dan penyusunannya. b. Pengarang adalah penulis cerita, karena ia yang mengarang cerita, baik idenya berdasarkan imajinasi sendiri maupun berasal dari tema yang sengaja dipilihnya. c. Penceritaan adalah menyampaikan cerita kepada pendengar atau membacakannya bagi mereka. Dalam peroses penceritaan ini, dibutuhkan adanya hal-hal yang mencakup :  Posisi duduk pencerita atau pendongeng dari pendengarnya,  Bahasa,  Suara,  Gerakan-gerakan,  Peragaan peristiwa-peristiwa, dan  Aura yang melingkupi antara dirinya dan pendengarnya agar penceritaan menjadi baik. d. Pencerita/pendongeng adalah orang yang mengalihkan cerita dan menyampaikannya kepada pendengar dengan bahasa pengarang atau bahasanya sendiri. Terkadang pendongeng ini adalah pengarang yang menyampaikan cerita sendiri. e. Penyimakan adalah mendengarkan cerita, yang mencakup :  Kondisi pendengar duduk atau berdiri,  Tingkat perhatian mereka apakah terpaksa atau atas kemauan sendiri,  Tingkat keterpengaruhan cerita terhadap jiwa mereka,  Sikap respek mereka terhadap para pahlawan dalam cerita, dan  Gambaran jiwa mereka atas pengaruh cerita atau penceritaannya. f. Penyimak adalah individu atau banyak orang yang mendengarkan cerita atau membacanya. Terkadang pendongeng sekaligus menjadi penyimaknya sendiri, seperti seseorang yang membaca cerita tertulis Adalah komponen pokok yang harus diperhatikan sehingga sebuah cerita layak disebut bagian dari sastra yang hidup dan abadi. 3. Mengarang Cerita Mengarang cerita mencakup 3 unsur pokok yaitu : a. Ide Ide dalam mengarang cerita adalah suatu bakat alami yang terlahir dari seseorang, dan tidak mungkin memperolah dan mambuatnya dengan latihan jika bakat itu tidak ada. Kesenangan saja tidak cukup untuk mewujudkan sebuah seni, tetap harus ada bimbingan, pengembangan, dan pengarahan. Para ahli pendidikan sangat memperhatikan ide dari belajar dengan bermacam-macam cerita ini, untuk mengetahui sejauh mana pengaruhnya dalam pertumbuhan akal dan emosi anak melalui tema yang beragam. Mereka membatasi tema ini dengan batasan yang global, yaitu tema peristiwa yang dibatasi oleh batasan yang global, yaitu :  Tema peristiwa yang dibatasi oleh lingkungan Ditujukan bagi anak kira-kira usia 3-5 tahun. Pada usia ini, anak-ana sudah dapat melihat bahwa disekitarnya ada hewan dan tumbuhan bergerak dan memiliki kekhusuan, memiliki berbagai suara dan warna. Ia juga melihat individu-individu yang berbeda dalam keluarganya, seperti orangtua, saudara laki-laki, saudara perempuan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, cerita-cerita yang sesuai baginya adalah ceirta yang tokoh-tokohnya dikarang dari binatang dan tumbuhan, dan peristiwa-peristiwa tentang keduanya. Atau tokoh-tokoh manusia seperti ibu, ayah dan anak-anak seusianya. Tokoh-tokoh ini hendaknya mudah ditangkap oleh anak, misalnya ayam jago berbulu merah, anak gadis berambut pirang. Pemberian sifat-sifat gerakan, pembicaraan dan warna yang dikenalnya, akan menjadi daya tarik yang akan membangkitkan rasa ingin tahu anak. Pada usia ini, anak cenderung berangan-angan bahwa benda dapat berbicara. Agar anak penuh perhatian pada tema cerita ini, maka ceritanya harus berupa cerita pendek yang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang berlangsung cepat dan menakjubkan. Dalam alur cerita seperti ini, fantasi anak mulai tumbuh dan menguat secara berangsur-angsur. Harus diingat bahwa fantasi ini tetap dibatasi oleh lingkungan anak itu sendiri, seperti berfantasi bahwa bantal adalah kuda yang biasa ia naiki, berlayar dengan perahu. Cacat yang terdapat dalam cerita pada fase ini biasanya ada pada ide cerita yang menakutkan, yang mengandung peristiwa-peristiwa yang penuh dengan tipu daya, yang itu akan mengakibatkan anak ketakutan dan mengagetkan anak dengan mimpi-mimpi buruk. Oleh karena itu, guru harus menjauhi model cerita seperti itu.  Tema imajinasi bebas Diajukan pada anak-anak usia 5-8/9 tahun. Pada masa ini anak telah melewati masa pengenalan lingkungan sekitarnya yang terbatas pada rumah dan jalan-jalan. Dia mulai tahu bahwa anjing itu menggigit, lebah itu menyengat, kucing mencakar. Tetapi ingin membayangkan sesuatu yang tidak diketahuinya, yang tidak ada dalam lingkungannya. Ia lalu terbang menuju lingkungan fantasi yang bebas, yang dapat melihat adanya para malaikat, bidadari, penyihir, jin, dan lain sebagainya. Biasanya ketika mendengarkan cerita seperti ini anak-anak mempertanyakan apakah itu benar-benar terjadi? maka pendongeng harus menjawab “tidak”, ini hanyalah dongeng dari orang-orang zaman dahulu yang mempercayainya. Dengan demikian anak mengeerti bahwa cerita iu hanyalah fantasi dan tidak akan mempercayainya.  Tema petualangan dan kepahlawanan Diajukan pada anak-anak 8-18/19 tahun atau lebih. Pada fase ini seseorang pemuda cenderung menyukai hal-hal yang imajiner-romantik dengan tetap dibatasi oleh kenyataan sesungguhnya. Melalui kekuatan instingnya, anak mulai mengenal perjuangan dan keinginan menguasai. Mereka mulai mengikuti permainan yang penuh persaingan dan menuntut keberanian, serta membentuk kelompok untuk berkelahi dan menyerang kelompok lain. Cerita-cerita yang disukai seorang pemuda pada fase ini, biasanya memuat cerita-cerita yang penuh bahaya, petualangan, keberanian, kekerasan, dan melibatkan kepolisian. Pada usia ini banyak pemuda yang melanggar batas-batas aturan masyarakat karena terangsang untuk meniru petualangan seeprti itu. Ia merasa bangga hidup bebas dan berkelompok seperti yang didengar atau dibacanya. Oleh karena itu harus berhati-hati dalam memilih ide cerita. Sebaiknya cerita berisi muatan yang menjadiakan pendorong pada hal-hal yang baik, dan bertujuan mulia.  Tema percintaan Diajukan pada anak usia 12-18 tahun lebih. Suatu masa peralihan menuju masa yang penuh kebimbangan. Dari masa kanak-kanak yang penuh ketergantungan menjadi pemuda yang mandiri. Tema ini lekat dengan rasa sosial, patriotisme, konflik jiwa, pandangan filosofis tentang kehidupan dan pemikiran keagamaan. Juga kebutuhan pemuda atas pembentukan pandangan yang lebih luas tentang kehidupan. Pada fase ini tema petualangan dan kepahlawanan tetap ada, si pemuda akan selalu menyertakan tema percintaan ini dengan tema kepahlawanan. Oleh karena itu, pada fase ini si pemuda cenderung pada bentuk cerita romantik, heroik dan detektif. Cerita-cerita yang memuat peristiwa yang berhubungan dengan kemanusiaan, yang memperkuat kepedulian sosial dan cita-cita tinggi, seperti kesuksesan dalam ekonomi dan mencapai kedudukan sebagai pemimpin.  Tema keteladanan Diajukan pada anak usia 18 atau 19 tahun dan sesudahnya. Pada tema ini seorang pemuda atau pemudi memasuki masa kematangan berpikir dan bermasyarakat. Biasanya, telah terbentuk dalam dirinya sebagian dasar-dasar sosial, moral dan politik, baik yang salah maupun yang benar. Biasanya juga, semakin jelas kecendrungan dan tujuannya dalam hidup. Telah terbentuk dalam dirinya pandangan yang luas mengenai lingkungan sosialnya dan segala hal yang berkaitan dengan hidupnya. Pada fase ini, mereka terpengaruh oleh kebutuhan-kebutuhan individunya. Mereka memberi pengaruh karena masing-masing dapat dirujuk sebagai teladan, baik dalam budi pekerti maupun kehidupan sosialnya. Oleh karena itu, kita tidak mungkin mempersempit pada bentuk cerita tertentu, karena begitu rumitnya kehidupan seseorang dan beragamnya keteladanan. b. Susunan ide Susunan ide mencakup unsur-unsur cerita, yaitu peristiwa atau kejadian yang terangkai dalam cerita. Unsur-unsur ini terdiri dari tokoh-tokoh, perbincangan yang terjadi diantara tokoh, dan tema sentral yang dijiwai para tokoh yang mengikat hubungan diantara mereka. Semua diramu menjadi susunan ide yang kemudian menjadi pangkal pembuatan cerita. Ide dalam cerita ibarat rencana dalam menu. Para tokoh, peristiwa, percakapan dan unsur-unsur lainnya. Sebelum menulis, pengarang dapat terlebih dahulu merangkai urutan peristiwa cerita dalam benaknya. Para tokoh, percakapan dan tema sentral, adalah faktor-faktor yang berkelindan dalam jalinan peristiwa itu. Secara umum, setiap cerita dibentu dalam tiga tahap, yaitu:  Pendahuluan, merupakan pengantar singkat mengenai ide dalam cerita dan sebagai tempat masuk bagi pembaca untuk merasakan apa yang akan terjadi selanjutnya.  Konflik adalah kesulitan yang terjadi pada pertengahan cerita dan membutuhkan penyelesaian, atau tempat yang samar yang membutuhkan penjelasan. Ini juga menarik perhatian penyimak, membuatnya berpikir tentang jalan keluarnya, atau menduga-duga hal yang masih samar.  Klimaks, yang membuat penyimak merasa senang dan tenang kembali. Keterlibatan dengan tokoh cerita pun usai, saat ia merasa bahwa peristiwa itu telah berakhir. Pembentukan cerita dengan tiga tahapan tadi harus mengikuti aturan-aturan umum seperti berikut:  Keseimbangan diantara tahapan-tahapan cerita. Pengarang atau pendongeng hendaknya tidak terlalu berlebihan dalam pendahuluan, karena penyimak tidak akan sabar untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Tidaj juga berlebihan dalam menyampaikan konflik, bertele-tele dalam penjabaran peristiwa demi peristiwa, atau cepat-cepat menuntaskan cerita.  Menjaga keutuhan cerita dan ikatan unsur-unsurnya.  Tokoh-tokohnya harus berkarakter. Diperkuat oleh kebenaran perbuatan dan ucapannya.  Pengarang hendaknya tidak menggambarkan setiap peristiwa dengan ungkapan yang lugas, tetapi harus secara tersirat, terlebih cerita orang-orang dewasa sehingga pembaca berpikir dan berkhayal untuk mengetahui apa makna dibalik isyarat.  Percakapan antar tokoh harus berkarakter, tidak saling berlawanan, dan masuk akal.  Pengarang hendaknya tidak mengulang-ngulang memberi nasihat ditengah cerita karena itu akan menjadikannya sebagi nasihat dan petuah.  Penjabaran peristiwa dalam cerita dan penghayatan hendaknya dilakukan secara bertahap, sehingga perhatian penyimak tetap terjaga dan tidak merasa bosan. c. Bahasa dan Gaya Bahasa Yang dimaksud bahasa disini adalah kata-kata, dan gaya bahasa adalah susunannya, baik denotatif maupun konotatif. Pengarang harus memilih ide yang sesuai dengan penyimak, perkembangan pikiran, imajinasi dan kehidupan sosialnya. Demikian pula dalam soal bahasa. Pengarang atau penulis cerita harus bertanya kepada dirinya: siapa yang akan membaca cerita ini? Bagaimana tingkatan bahasa dan gaya bahasa mereka? Apakah bahasa dan gaya yang saya tulis ini dapat dimengerti dan dipahami?. Pengarang hendaknya menyesuaikan gaya bahasanya dengan pembaca, dan ia akan berhasil jika terus mencoba. Pengarang juga hendaknya memilih kata-kata yang lebih ringan ditelinga. Kata-kata yang mudah diucapkan dan dipahami. Apabila jiga cerita diperuntukan bagi anak-anak pemula. Para penulis cerita anak seyogianya mengesampingkan kata-kata asing dan ungkapan konotatif . Sebaiknya mereka membuat kalimat yang singkat sehingga memberikan kemudahan kepada pembaca atau pendengaruntuk memahami rangkaian peristiwa dalam cerita. Gunakan kata-kata yang mudah membekas dihati pendengar seperti pada penglihatan, pendengaran, gerakan-gerakan, sentuhan, rasa dan penciuman. Suara-suara binatang dalam bahasa cerita hendaknya menirukan layaknya hewan sungguhan, karena tupun berpengaruh pada jiwa anak sebagai penyimak cerita. 4. Penceritaan Penceritaan adalah pemindahan cerita atau penyampaian kepada penyimak atau pendengar. Bercerita merupakan seni yang alami sebelum menjadi sebuah keahlian. Pendongeng yang alami cenderung lebih kuat daripada pendongeng yang mengikiuti sekolah atau kursus resmi. Kemempuan bercerita dengan baik tidak akan sama, tetapi hal ini tidak akan menghalangi guru untuk terus berlatih dengan sungguh-sungguh. Terdapat perbedaan besar antara pembacaan dengan penyampaian cerita. Penceritaan atau bercerita yang baik akan menyebarkan ruh baru yang kuat dan menampakkan gambaran yang hidup dihadapan pendengar. Memberikan potret yang jelas dan menarik, artikulasi, intonasi, gerakan-garakan, dan emosinya. Ia menghidupkan setiap tokoh dengan karakter seperti yang dituntut dalam cerita. Pendongeng harus dapat menceritakan suasana tenang dan akrab dengan pendengarnya seolah-olah mereka itu teman. Ada perbedaan antra pendongeng yang kita lihat dan kita dengar langsung dengan pendongeng yang kita dengar suaranya saja. Pendongeng yang pertama yang menyampaiakn ungkapan suara, senandung, gerakan, dan peragaan secara langsung. Hal seperti ini akan memeberikan keasyikan tersendiri bagi anak-anak, sebab mereka melihat langsung pendongengnya. Tidak seperti pendongeng di radio yang hanya bisa mereka dengarkan suaranya. Sebagian orang sering merasa tak mampu bercerita dengan baik. Padahal jika ia mencoba, melepaskan kegugupan yang ada pada dirinya saat bercerita, dan ia terus berlatih mengkuti petunjuk yang ada, ia pasti akan dapat belajar mencintai aktivitas yang semula ia takutkan itu. Bagi seorang guru, dengan tugas yang diembannya, ia dituntut untuk banyak berlatih agar mampu menyampaikan berbagai bentuk cerita dengan penyampaian yang menarik dan menyenangkan pendengar. 5. Langkah Dasar Bercerita bagi Guru Dongeng a. Pemilihan Cerita Sebaiknya pendongeng memilih jenis cerita yang sangat ia kuasai. Tetapi lain halnya untuk seorang guru, seorang guru dituntut untuk menguasai penceritaan berbagai jenis dongeng, tentunya dengan berbagai latihan yang dilakukan terus menerus. Ada cerita yang bernada sedih dan gembira. Dalam hal ini, guru sebaiknya dapat memilih cerita yang sesuai dengan kondisi jiwanya saat akan bercerita. Antara yang menyedihkan dan menyenangkan. Karena keadaan jiwa pendongeng akan berpengaruh pula pada setiap penceritaan. Sebagai catatan bagi guru, harus diingatkan bahwa dalam penyampaian cerita yang lucu dan sedih, ia harus bercerita dengan menggunakan cara yang tepat agar murid tidak salah dalam mengapresiasikan. Misalnya dalam cerita yang menyedihkan mereka malah tertawa atau sebaliknya. b. Persiapan Sebelum Masuk Kelas Adalah keliru jiga seorang guru mengira bahwa bercerita dianggap pelajaran yang tidak memerlukan persiapan. Setiap menit waktu yang digunakan untuk berpikir dan mengolah cerita sekaligus mempersiapkannya sebelum pelajaran dimulai, akan membantu dalam penyampaian cerita dengan mudah. Begitu juga saaat menggambarkan berbagai peristiwa dihadapan anak, ia dapat melakukannya dengan jelas. Ia mampu karena ia telah memikirkannya, merancang gambaran alur cerita secara jelas, dan menyiapakan kalimat-kalimat yang akan disampaikannya sebelum masuk kelas. c. Perhatikan Posisi Duduk Siswa Ketika bercerita yang diharapkan adalah perhatian para siswa dengan sepenuh hati dan pikiran mereka. Oleh karena itu guru harus dapat menguasai cerita yang disampaikan dengan baik. Sehingga mereka dapat mengikuti jalan cerita. Untuk keperluan ini, ketika penceritaan berlansung, para siswa hendaknya diposisikan secara khusus, tidak seperti waktu mereka belajar menulis dan membaca. Yang terpenting adalah siswa dapat menerima cerita yang disampaikan secara aktif, tidak duduk sesukanya. Kalau perlu mereka dapat berdiri sejenak. Dengan begitu suasana jauh dari kesan resmi tidak seperti umumnya pelajaran yang lain. Di antara guru dengan murid harus terjalin keakraban yang wajar. Posisi duduk yang baik bagi para siswa dalam mendengarkan cerita adalah berkumpul mengelilingi guru dengan posisi setengah lingkaran atau mendekati setengah lingkaran. Guru harus dapat memastikan bahwa para siswa merasa bebas jiwanya dangan beberapa aturan tentunya ditempat duduk mereka dan membantu mereka memilihkan tempat duduk yang sesuai. Guru bisa membiarkan sebagian muridnya duduk disamping kanan kirinya, yang lain duduk dibelakangnya, dan yang lain lagi dibiarkan berdiri jika mereka menghendaki. Guru hendaknya tidak menempatkan siswa duduk atau berdiri di kedua ujung setengah lingkaran, jika itu akan menyulitkan mereka baik ketika duduk ataupun berdiri saat penceritaan berlangsung. Kemudian guru duduk dibangkunya secara terpisah, menghadap murid-murid dan memandang mereka secara menyeluruh, untuk dapat mengundang perhatian mereka. Sebaiknya guru tidak langsung duduk ketika mulai bercerita, tetapi memulainya dengan berdiri, lalu pada menit-menit selanjutnya secara perlahan-lahan ia bersiap untuk duduk pada saat menyampaikan pembukaan cerita, kemudian setelah itu barulah ia duduk. 6. Penyimakan Penyimakan disini adalah pemahaman siswa secara penuh terhadap apa yang didengarnya dari kisah-kisah yang disampaikan oleh guru. Dalam ilmu jiwa, setiap kata atau ungkapan yang didengar atau dibaca oleh manusia akan memberi pengaruh dalam jiwanya, meliputi gambaran, arti, dan peristiwa seperti yang ia ingat dalam perjalan hidupnya. Pengalaman pada setiap individu dalam memaknai gambaran, arti, dan peristiwa jelas akan berbeda sesuai kecerdasan masing-masing. Misalnya, bentuk ular akan berbeda panjang pendeknya dalam benak setiap orang. Hal ini disebabkan terjadinya perbedaan penerimaan yang ia dengar dari guru ketika bercerita dan perbedaan kemampuan pendengar dalam mengabdikan gambaran ular tersebut. Keinginan dan perhatian para siswa akan ditentukan oleh kemahiran guru dalam bercerita selai adanya perbedaan kemampuan mereka dalam mengabdikan gambaran para tokoh dan peristiwa. Anak-anak pada usia dini sulit menahan perhatiannya dalam waktu yang lama. Mereka juga tidak akan bertahan lama duduk dalam satu tempat. Untuk itu dalam buki ini dingatkan agar guru selalu memperhatikan hal-hal berikut: a. Perhatian siswa timbul biasanya karena pengaruh cerita, rangkaian peristiwa, dan cara penyampainnya. Keberlangsungan perhatian itu bergantung pada keinginan si siswa sendiri. b. Sulit untuk membuat siswa tetap berada di satu tempat duduk sepanjang cerita berlangsung. Maka guru hendaknya tidak putus asa dan mencoba mengubah tempat duduk mereka ditengah-tengah cerita. Jika para siswa mulai terlihat bosan dan banyak bergerak maka guru harus mulai mencari penyebabnya. c. Berbagai peristiwa dalam cerita haruslah merupakan satu rangkaian yang tidak terputus agar menjadi satu cerita yang utuh. Guru hendaknya tidak memotong cerita untuk mengingatkan seorang siswa agar diam, menaati peraturan, atau melarangnya bermain-main. d. Dalam proses penyimakan, para siswa membayangkan diri mereka bermain bersama para tokoh dalam cerita dengan peran yang berbeda-beda. Mereka terlibat melalui khayalannya mengikuti jalannya cerita. e. Di pertengahan penyimakan itu, para siswa juga mengikuti perasaan guru yang bercerita dengan perasaan mereka sendiri, baik ketika sedih, gembira, atau marah. Apalagi jika guru sangat mahir melukiskan berbagai perasaan itu. f. Para siswa diharapkan dapat menceritakan kembali sebagian atau seluruhnya dari cerita yang telah didengarnya dengan menggunakan salah satu metode pengungkapan. Menyampaikannya dengan peragaan, atau dengan menulis dan manggambarkannya. Misalnya juga dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka . g. Cerita biasanya tidak membutuhkan peralatan menulis. Untuk itu, jika memungkinkan, guru bisa mengajak murid keluar kelas dan bercerita diudara bebas. 7. Bercerita Dalam Jadwal Pelajaran Bahasa Kurikulum modern pengajaran bahasa, sangat memperhatikan masalah pelajaran bercerita. Pelajaran bercerita telah dijadikan satu jadwal pelajaran yang khusus. Pada tahun I dan II di SD, pelajaran bercerita memiliki jatah waktu tiga jam dalam seminggu. Akan tetapi, ketentuan waktu ini berbeda di setiap daerah. Namun, seorang guru hendaknya tidak selalu terikat dengan jumlah jam pelajaran. Sekalipun kurikulum telah memberikan perhatian melalui jam khusus untuk brcerita, sesungguhnya bercerita tidak terbatas pada jam-jam tersebut. Dalam pelajaran agama siswa mendengarkan cerita keagamaan. Dalam pelajaran membaca, dibacakan sebuah cerita walaupun singkat. Khusus dalam pelajaran bercerita, yang dipilih adalah cerita sastra yang berbobot, yang memenuhi standar sastra, yang sesuai dengan perkembangan akal dan rasa sosial anak, kecendrungan, imajinasi, dan bahasannya. Dalam hal ini, antara guru bahasa dan guru kesenian bekerja sama. Saling berhubungan satu sama lain untuk mengetahui cerita yang disampaikan serta saling membantu. Dalam pelajaran kesenian, guru bisa meminta salah satu siswa untuk bercerita dari dongeng yang didengarnya dari pelajaran bercerita. Kemudian guru dapat memulai pelajaran dengan bertanya kepada murid tentang cerita yang telah mereka dengar dan mereka gambar dari guru kesenian. Lalu meminta mereka mengungkapkannya dengan lisan. Pengkhususan waktu 3 jam dalam seminggu bukan berarti guru harus menghabiskan seluruh waktu untuk bercerita. Tetapi guru bisa menggunakan sebagian waktu untuk menyampaikan peragaan. Siswa pun dapat dilatih memeragakan sebagian cerita dengan peragaan yang benar. Sekalipun sebagian besar waktu digunakan untuk peragaan, itu tidak menjadi masalah. Dalam pemanfaatan waktu untuk bercerita yang terbatas, guru terlebih dahulu harus memahami tingkat kemampuan siswa yang masih kecil dalam memperhatikan satu hal dalam waktu lama. Guru juga sebaiknya mengerti bahwa siswa bisa saja berpaling dari cerita yang tidak disukainya dan membuatnya bosan. Mengingat perhatian anak dalam mendengarkan cerita, tidak akan berlangsung sepanjang jam pelajaran. Untuk itu, kita sepakat lama waktu bercerita tidak lebih dari 15 menit untuk tahun I dan II sekolah dasar. Dan bisa berkurang sampai 8 menit. Cerita yang disanpaikan dengan waktu yang relatif singkat, kurang dari 8 menit, akan mengurangi nilai pentingnya cerita tersebut dimata para siswa, walaupun cerita yang disampaikan cukup menarik. Pendapat ini menunjukan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk bercerita yaitu antara 8-15 menit. Dan untuk tahun berikutnya waktu yang dibutuhkan bisa mencapai 20 menit. Perkiraan waktu ini bukanlah sesuatu yang pasti. Hal ini sekadar dapat membantu dalam pengkarakteran cerita dan mengetahui kondisi para siswa pada saat menerima cerita. Semuanya dipengaruhi oleh penentuan jangka waktu dalam penyampaian cerita. Sisa waktu dari jam tersebut bisa digunakan siswa untuk mengungkap kembali cerita yang telah disampaikan. Pengungkapan ulang ini bisa dengan menjawab pertanyaan guru yang disampaikan secara langsung kepada siswa mengenai tema cerita atau pertanyaan tidak langsung yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam. Atau sebagian siswa bertanya kepada siswa yang lain. Atau juga siswa menceritakan kembali apa yang telah disampaikan, atau memeragakannya. Kesimpulan : a. Guru dapat menyampaikan satu hingga dua cerita dalam seminggu. b. Waktu menyampaikan cerita hendaknya tidak lebih dari 15 menis untuk tanun I dan II SD atau bisa juga menguranginya. c. Guru dapat memanfaatkan sebagian waktu bercerita dengan cabang ilmu bahasa yang lain. 8. Mempersiapkan Cerita Persiapan itu tidak cukup hanya dengan persiapan secara umum yaitu membacanya sambil lalu. Setelah memilih cerita yang akan disampaikan, harus diperhatikan beberapa hal berikut : a. Guru harus mengetahui seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita dengan baik dan jelas. b. Memahami susunan peristiwa-peristiwa tersebut, hubungan antarperistiwa, dan letak konflik serta bagaimana klimaksnya. c. Mempelajari dengan baik berbagai tokoh yang berbeda dalam cerita, karakter setiap tokoh, dan bagaimana cara menirukannya dengan baik. d. Guru juga mengetahui berbagai keadaan emosi dalam cerita dan harus mampu menggambarkan sehingga dapat membekas dihati para siswa. e. Guru dapat menirukan berbagai macam suara binatang yang disebutkan dalam cerita sehingga ketika mendengar tiruan suara tersebut para siswa langsung dapat mengetahui bentuk binatangnya. f. Mempersiapkan media yang dibutuhkan untuk ditampilkan ketika cerita barlangsung. Kita tidak mengharapkan banyak biaya dan tenaga yang dikeluarkan dalam pengadaan media tersebut. Cukup dengan media yang sederhana dan mudah didapat. g. Memikirkan hasil setelah cerita disampaikan. Cerita apa yang digunakan dalam penyampaian cerita, lalu mempelajarinya dan mempersiapkan apa yang dibutuhkan, seperti pertanyaan atau media lainnya. h. Menuliskan hal-hal penting dalam cerita pada catatan persiapan pelajaran atau dalam sebuah catatan khusus. 9. Metode Penyampaian Cerita Setelah guru selesai mempersiapkan cerita, kemudian bersiap-siap untuk menyampaikannya saat waktunya tiba. Pada saat itu juga harus memperhatikan hal-hal berikut : a. Tempat Bercerita Bercerita tidak selalu harus dilakukan di dalam kelas, tetapi boleh juga di luar kelas yang dianggap baik oleh guru agar para siswa bisa duduk dan mendengarkan ceirta. Lebih baik jika guru mengajar para siswa, atau bercerita kepada mereka, diudara bebas selagi mungkin dari pada membatasi mereka di ruang kelas. b. Posisi duduk Sebelum guru memulaibercerita, sebaiknya ia memposisikan paara siswa dengan posisi yang baik untuk mendengarkan cerita. Kemudian guru duduk ditempet yang sesuai dan mulai bercerita. Sebaiknya, guru tidak langsung duduk pada awal bercerita tetapi memulainya dengan berdiri. Lalu berjalan ke tempat duduk dan duduk setelah sedikit bercerita, guru hendaknya tidak duduk terus, tetapi juga berdiri, bergerak, dan mengubah posisi gerakan sesuai dengan jalannya cerita. c. Bahasa Cerita Bahasa cerita dalam buku ini adalah bahasa yang baik dan mudah, memiliki gaya bahasa yang sesuai bagi guru. Kami juga hanya sedikit memasukan ungkapan tidak baku yang sudah dikenal banyak orang. Dalam bagian kedua buku ini, kami benar-benar menggunakan gaya bahasa yang benar dan mudah bagi guru. Guru tidak harus selalu berfokus pada gaya bahasa cerita dalam buku ini. Ia bisa saja menambah atau mengurangi ungkapan yang dirasakan cukup baik, agarvpara siswa lebih mudah memahami jalannya cerita. d. Intonasi Guru Cerita ini mencakup pengantar, rangkaian peristiwa, konflik yang muncul dalam cerita, dalam klimaks. Pada permulaan cerita guru hendaknya memulainya dengan suara tenang. Kemudian mengeraskannya sedikit demi sedikit. Perubahan naik turunnya cerita harus sesuai dengan peristiwa dalam cerita. Ketika guru sampai pada puncak konflik ia harus menyampaikannya dengan suara ditekan dengan maksud menarik perhatian para siswa. Juga akan memberikan gambaran yang membuat mereka berpikir untuk menemukan klimaksnya. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa besarnya perhatian para siswa akan bertambah ketika konflik mulai berkembang. Dan mereka akan merasa lega dari ketegangannya, jika telah sampai pada klimaks. Maka guru hendaknya menyampaikan peristiwa-peristiwa dalam cerita dengan suara yang meyakinkan yang dapat membuat siswa penasaran hingga tiba saat klimaks. Ketika guru menyampaikan klimaks, ia harus menjiwai setiap ungkapan dan intonasi suara sampai akhir cerita. e. Pemunculan Tokoh-tokoh Guru diharapkan dapat menjelaskan peristiwanya dengan jelas tanpa gemetar atau ragu-ragu. Dalam bercerita guru juga harus dapat menggambarkan setiap tokoh dengan gambaran yang sesungguhnya, dan memperlihatkan karakternya seperti dalam cerita. f. Penampilan Emosi Saat bercerita guru harus dapat menampakkan keadaan jiwa dan emosi para tokohnya dengan memberi gambaran kepada pendengar bahwa seolah-olah hal itu adalah emosi si guru sendiri. Jika situasinya menunjukan rasa kasihan, protes, marah atau mengejek, maka intonasi dan kerut wajah harus menunjukan hal tersebut. Jika guru menampakkan ekspresi yang berlawanan dengan apa yang diceritakan, seperti tersenyum dalam cerita yang sedih atau sebaliknya, maka itu adalah kesalahan besar. Begitu juga jika guru membiarkan para siswa memperlihatkan ekspresi yang berlawanan, maka guru bisa menegurnya dengan memandang tajam kearahnya, agar ia mengerti situasi dalam cerita seperti yang digambarkannya saat ungkapkan hal itu. g. Peniruan Suara Sebagian orang ada yang mampu meniru suara-suara binatang dan benda tertentu, seperti suara singa, gelegar petir, gemercik air. Tetapi kebanyakan guru merasa malu melakukan hal itu dan menganggapnya perbuatan tercela. Padahal seorang guru dengan tugas yang diembannya, dituntut untuk dapat melakukan peniruan suara tersebut sesuai dengan yang diinginkan dalam cerita. Sebagian guru tidak menyukai melakukan hal ini di depan siswa. Seharusnya guru tidak perlu merasa rendah dengan peniruan suara tersebut, karena pekerjaan mengajar adalah mulia. Dan bercerita dengan penggambaran yang baik adalah bagian dari pekerjaan ini. h. Penguasaan Terhadap Siswa yang Tidak Serius Perhatian siswa ditengah cerita haruslah dibangkitkan sehingga mereka bisa mendengarkan cerita dengan senang hati dan berkesan. Para siswa biasanya diam mendengarkan cerita, jiga penyampaiannya bagus dan disampaikan oleh pendongeng yang bagus pula. Apabila guru melihat para siswa mulai bosan, jenuh, dan banyak bercanda, maka ia harus mencari penyebabnya. Mungkin ia sendiri penyebab kebosanannya itu, karena bercerita dengan gaya menonton. Mungkin karena ia tidak menjiwai dalam mengekspresikan emosi tokoh, tidak dapat menjelaskan rangkaian peristiwa dengan baik, teralalu panjang bercerita, memberi sekat antarperistiwa dengan tidak tepat, atau mengulang-ulang berbagai ungkapan, dan sebagainya. Ia harus introspeksi diri untuk menghilangkan kebosanan. Dalam hal ini guru tidak boleh memotong penyampaian cerita untuk memperingatkan anak yang nakal, tetapi dapat dengan menghampirinya, menarik tangannya dan mendudukan kembali si anak ditempat duduknya, atau membiarkan berdiri disamping guru. Bisa juga dengan menyebutkan nama siswa tersebut dan melihatnya dengan pandangan tajam, dan memasukan namanya kedalam cerita tersebut. Penyebutan nama atau memandangnya dengan tajam saat bercerita, cukup untuk memperlihatkan kepada siswa, bahwa guru memperhatikannya dan mengetahui kenakalannya. Biasanya, tindakan ini bisa menghilangkan kenakalan tersebut. i. Menghindari Ucapan Spontan Guru acapkali mengucapkan ungkapan spontan setiap kali menceritakan suatu peristiwa. Umpamanya, seseorang mengungkapkan dalam sebuah kisah, “Apa Namanya? Pada tengah hari anak itu merasa haus. Apa Namanya? lalu,” dan seterusnya. Kebiasaan ini tidak baik karena bisa memutuskan rangkaian peristiwa dalam cerita. 10. Ungkapan Ulang Siswa Setelah Penceritaan Pengungkapan cerita bisa dilakukan secara lisan saja, atau dengan lisan dan gerakan tubuh serta ekspresi jiwa, yaitu memeragakan sambil bercerita. Atau dengan gerakan tubuh atau ekspresi jiwa saja, yaitu peragan tanpa bicara. Adapula media yang lain seperti tulisan, gambar, musik, patung, dan sebagainya. Yang terpenting yang harus kita perhatikan dalam belajar bahasa ialah pengungkapan dengan lisan atau disertai peragaaan. Sebaiknya, kita tidak menggunakan pengungkapan nonlisan, karena: a. Lebih sulit dimengerti para siswa dari pada pengungkapan secara lisan b. Bermaksud memperbaiki bahasa dan gaya bahasa para siswa. Adapun media pengungkapan lain seperti tulisan, gambar, dan sebagainya, tidak termasuk dalam cakupan pelajaran bahasa, tetapi termasuk bagian dari metode dalam mata pelajaran keterampilan tangan dan menulis. a. Ungkapan Lisan Setelah guru selesai bercerita, ia dapat meminta para siswa untuk mengungkapkan kembali apa-apa yang diketahuinya dari cerita dengan menggunakan slah satu metode pengungkapan berikut:  Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya untuk menumbuhkan semangat dan ketangkasan.  Sebagian siswa menjawab pertanyaan yang diajukan sisswa lainnya agar para siswa merasakan atau bisa mengajukan pertenyaan setelah mendengar cerita. Hal ini sebaiknya dilakukan secara bergantian. Kelompok yang sebelumnya bertanya digantri menjaadi kelompok yang menjawab ataupun sebaliknya.  Para siswa sebagai pencerita, guru dapat meminta salah seorang siswa untuk bercerita, seluruhnya atau sebagian saja, lalu dilanjutkan oleh yang lainnya sampai ceritanya selesai.hal ini bisa dilakukan langsung setelah gugu bercerita atau pada jam yang lain. Akan lebih baik jika siswa terbiasa bercerita sendiri di depan teman-temannya sehingga dapat menimbulkan kebiasaan bercerita dihadapan orang banyak dan menumbuhkan keberanian. b. Peragaan Peragaan adalah ungkapan ide dengan bahasa, gerakan dan perasaan. Ungkapan seperti ini akan berbekas pada jiwa penyimak karena akan membangkitkan jiwa yang kuat dari sesuatu yang disampaikan. Guru merupakan contoh bagi para siswanya yang akan diikuti setiapan dan perbuatannya. Jika guru bisa melakukan peragaan yang baik dalam bercerita maka cerita akan menjadi bagian dari seni, dan dapat menjadi contoh yang baik bagi para siswa. Guru harus menjaga cerita, suara, dan intonasinya sehingga sesuai dengan ide yang disampaikan. Dapat pula mengekspresikan emosi yang ada dalam cerita dengan baik dan dapat menyuarakan suara-suara hewan dan benda yang ada dalam cerita. Biasanya guru memerlukan beberapa sarana didalam kelas untuk melakukan peragaan yang mengasyikkan dan menyenangkan. Tidak perlu mengeluarkan biaya khusus atau sengaja membuatnya di dalam kelas, karena itu hanya dapat mempersulit saja. Guru hendaknya mencari sarana yang mudah yang didapat di sekolah, atau yang dapat dibawa aoleh para siswa yang dapat digunakan dalam bercerita. Ketika para siswa diminta untuk melakukan peragaan cerita, sebagian atu seluruhnya, hendaknya guru mengikuti langkah-langkah berikut:  Membagi tokoh-tokoh kepada para siswa  Pakaian, guru hendaknya memberi setiap siswa pakaian yang sesuai tokoh yang diperankannya. c. Tempat Peragaan Tempat yang kosong dihadapan para siswa di depan kelas terkadang tidak cukup untuk peragaan. Untuk itu, guru harus mempersiapkan tempat lain, misalnya dengan mengubah posisi bangku, atau juga guru memilih tempat diluar kelas. Dimanapun tempat yang akan digunakan yang penting cukup dan sesuai untuk memeragakan berbagai peragaan dalam cerita. d. Melakukan Peragaan Setelah persiapan itu, guru meminta para siswa untuk memulai peragaan. Idak mengapa jika ia ikutbterlibat untuk memperbaiki peran atau posisi yang salah, tetapi sebaiknya jika diperlukan saja. Sebagian guru bisa juga ikut memerankan tokoh tertentu. Guru diharapkan:  Menambah semangat para siswa dalam peragaan  Mungkin guru bisa memerankan tokoh yang sulit dalam cerita  Guru hendaknya memperbaiki kesalahan para siswa di tengah peragaan tanpa kelihatan. Sebaiknya guru tidak memaksakan dalam mengubah tokoh yang kurang baik ketika tengah berperan kecuali jika mendesak. Sejak awal, guru yang baik akan memilih siswa yang sesuai untuk berbagai tokoh tersebut. 11. Contoh Satuan Pelajaran Bercerita Berikut ini adalah contoh ringkasan dari satuan pelajaran bercerita. Mata Pelajaran : Bercerita Judul : Gadis Berbunga dan peragaannya dibantu oleh siswa Tahun : I Ruang : IV Tanggal : 08-08-2008 Waktu : 40 Menit Pendahuluan Para siswa belum dapat membaca sendiri. Pengetahuan mereka masih sangat terbatas, karena mereka baru berlatih membaca. Oleh karena itu guru harus menyampaikan cerita kepada mereka. Dengan demikian mereka bisa menggunakan pendengaran untuk menikmati isi cerita. Cerita bisa menghabiskan sebagian atau seluruh jam yang tersedia. Guru dapat mengevaluasinya setelah penceritaan usai. Waktu perkenalan hendaknya tidak lebih dari 15 menit. Maksudnya agar seluruh waktu bisa dipergunakan untuk bercerita dan sekaligus memeragakan ceritanya. Tujuan Dalam setiap jam pelajaran bercerita, mencakup penceritaan dan peragaan, dengan tujuan sebagai berikut : a. Menghibur siswa dang menyenangkan mereka dengan imajinasi, dan penceritaan yang baik. b. Menembah pengetahuan siswa secara umum. c. Memperindah gaya bahasa dan menambah perbendaharaan kata. d. Mengembangkan imajinasi e. Mendidik akhlak f. Mengasah rasa g. Latihan mengungkapkan ide dengan kata-kata disertai peragaan. Metode Adapun metode-metode yang dapat digunakan dalam bercerita ini adalah : a. Guru bercerita kepada siswa dengan cara yang mengesankan b. Bertanya kepada mereka dengan pertanyaan-pertanyaan umum mengenai cerita. c. Melatih dan mempersiapkan mereka untuk melakukan peragaan. d. Para siswa melakukan peragaan didalam kelas. Catatan Guru dan para siswa hendaknya berperan dan memainkan tokoh-tokoh yang ada didalam cerita tersebut. 12. Beberapa Petunjuk bagi Kepala Sekolah Hal-hal berikut ini disampaikan untuk membantu kepala seklah dalam mengetahui ukuran-ukuran keberhasilan seorang guru dalam mempersiapkan, menyampaikan, dan mengetahui hasil akhir dari proses penceritaan. a. Apakah guru telah memilih tempat yang sesuai untuk bercerita? b. Apakah para siswa duduk dalam keadaan santai untuk mendengarkan cerita dan mereka dapat melihat guru dan mendengarnya? c. Apakah guru melakukan persiapan sebelum bercerita dan mencatat hal-hal penting dalam catatan khusus? d. Apakah rangkaian peristiwa disampaikan secara berantai yang menunjukan bahwa guru menguasai materi, atau terlihat tanda-tanda keraguan dan kekacauan dalam penyebutan bberbagai peristiwa? e. Apakah cerita disampaikan dengan cara yang mengesankan, khususnya dalam mengekspresikan emosi dan membedakan berbagai tokhnya? f. Media apa yang digunakan guru untuk membedakan para tokoh dan apaka media itu sesuai? g. Apakah suara guru berubah-ubah disesuaikan dengan tuntutan tokoh dalam cerita yang diungkapkan? h. Sampai sejauh mana guru dapat menghayati cerita sebagai peristiwa yang hidup? i. Apakah peniruan berbagai macam suara binatang dan benda sesuai dengan tuntutan cerita? j. Suasana apa yang terbangun antara guru dan siswa ketika bercerita? Apakah suasana resmi atau suasana penuh kasih dan persahabatan? k. Apakah guru bercerita dengan gaya bahasa yang sesuai dengan standar anak-anak atau diatas standar mereka? l. Apakah siswa mendengarka cerita dengan penuh minatdan perhatian? Mengapa? Apakah karena ceritanya menarik dan berkesan? Atau karena cara penyampaian yang menarik? Atau karena guru mengancam mereka dengan hukuman? m. Jika para siswa tidak mau mendengarkan cerita, apa penyebabnya? n. Apakah guru memutuskan ramgkaian cerita untuk mengingatkan pelaturan? Bagaimana cara yang baik mengingetkan tanpa memutuskan jalan cerita? o. Sampai batas mana keikutsertaan siswa dalam cerita saat guru bercerita? p. Apakah para siswa tampak gembira dan menikmati cerita? q. Berapa waktu yang dihabiskan untuk bercerita? r. Bagaimana guru melihat hasil setelah cerita disampaikan? s. Apakah pertanyaan dibagikan kepada para siswa secara merata? t. Bagaiman bentuk pertanyaan itu? Apakah membutuhkan banyak waktu untuk berfikir? u. Apakah guru tangkas dalam memberikan pertanyaan? v. Jika para siswa memeragakan cerita, sejauh mana keberhasilan mereka? dan jika gagal Kenapa? w. Apakah guru memotivasi para siswa yang pemalu untuk ikut serta dalam peragaan? dengan cara apa? x. Apakah guru ikut serta dalam peragaaan beberapa cerita? peran apa yang dipilih? Mengapa? y. Berapa jumlah cerita yang disampaikan kepada para siswa sejak awal tahun? apakah jumlahnya sesuai? dan Berapa jumlah cerita yang diperagakan para siswa? Apakah jumlahnya sesuai? z. Jika proses penceritaan hanya menghabiskan sebagian dari jam yang tersedia, Apakah guru memanfaatkan sisa waktu dengan pelajaran lain yang merupakan cabang pelajaran bahasa? Ataukah membiarkan waktu yang kosong itu? B. BAGIAN KEDUA 1. Cerita 1 Sakinah dan Anaknya Alkisah, hiduplah seorang wanita bernama sakinah, ia mempunyai seorang anak yang masih kecil berusia satu tahun. Pada suatu malam, udara sangat panas. Sakinah membuka jendela kamarnya. Anaknya menangis, lalu sakinah berbaring di atas tempat tidur bersama putra kecilnya. Ia kemudian bernyanyi agar anaknya tertidur. “sayangku tidurlah, sayangku tidurlah Kuberi engkau sepasang merpati Anakku tidurlah dengan tenang Engkau anakku umurmu sudah setahun Sayangku tidurlah, sayangku tidurlah ........................................” Ketika bernyanyi, tiba-tiba ia mengantuk dan mendengar suara, “Oee...Oee...” Ia melihat sekelilingnya dan dilihatnya seekor induk sapi bersama anaknya. “Engkau bernyanyi dan berkata bahwa anakmu sudah berumur satu tahun?” tanya sapi itu. “Ya, umur anakku sudah satu tahun,” jawab Sakinah. “Apakah anakmu sudah dapat berjalan?” tanya Sapi kemudian. “Tidak, anakku masih kecil, belum bisa berjalan,” jawab Sakinah. Sapi tertawa dan berjalan. “Aku dan anakku sudah bisa berjalan dalam usia sehari. Aku dan anakku lebih baik dari anakmu.” Sapi membanggakan dirinya dan anaknya. Kemudian Sakinah mendengar suara lain, “Mbee... mbee...” Ia melihat seekor induk biri-biri yang berjalan bersama anaknya yang masih kecil. “Engkau bernyani dan mengatakan usia anakmu satu tahun?” tanya Biri-biri itu. “Ya, usia anakku kini sudah setahun,” jawab Sakinah. “Berapa jumlah kakinya?” tanya Biri-biri lagi. “Dua,” jawab Sakinah. Biri-biri tertawa. “Anakku usianya baru satu minggu dan mempunyai empat kaki,” katanya membandingkan. “Aku dan anakku lebih baik dari anakmu,” lanjutnya sambil berlari pergi. Sakkinah mendengar lagi suara, “Wekk... wekk... wekkk...” Ia melihan seekor induk bebek dan anank-anak nya yang masih kecil dan berjalan beriringan di belakang induknya. “Engkau bernyanyi dan mengatakan umur anakmu satu tahun?” tanya Bebek. ya, umurnya baru satu tahun.” jawab Sakinah. “Apakah ia bisa berenang seperti anak-anakku?” tanya bebek menyelidik. “Belum, anakku belum bisa berenang sekarang. Ia masih kecil.” “Aku dan anak-anakku bisa berenang pada usia satu minggu.” Bebek tertawa sambil pergi. “anak-anakku lebih baik dari anakmu,” ejeknya seraya pergi menjauh. Sakinah mendengar lagi suara yang indah. “Cit.. cit.. cit..” Ia melihat seekor burung pipit bersama anak-anaknya. “Engkau bernyanyi dan mengatakan usia anakmu satu tahun?” tanya Burung pipit. “Ya, anakku berumur satu tahun,“ jawab Sakinah “Apakah ia bisa terbang seperti anak-anakku?” “Tidak, anakku masih kecil dan tidak dapat terbang.” Aku dan anakku bisa terbang pada usia satu bulan.” Kemudian ia tertawa sambil terbang dan berkata, “ aku dan anak-anakku lebih baik dari anakmu.” Sakinah mendengar suara lagi, “Meong... meong...” Ia melihat seekor induk kucing datang bersama tiga anak-anaknya. Kemudian induk kucing itu meletakan anak-anaknya disamping putra kecil Sakinah yang sedang tertidur di ranjang. “Engkau bernyanyi dan mengatakan anakmu berumur satu tahun?” tanya Kucing. “Ya,” jawab Sakinah. “Apakah ia bisa menangkap tikus seperti anakku?” “Tidak, anakku masih kecil.” Kkucing tertawa dan berkata, “Aku dan anak-anakku bisa menangkap tikus pada usia dua bulan. Dan jika kau mau, aku akan membawa putramu dan mengajarkannya menangkap tikus.” Kemudian kucing memegang putra Sakinah dengan gigi-giginya untuk dibawa. Sakinah segera mendorong kucing itu jauh-jauh dan segera ia memeluk erat anaknya. Si anak pun menangis. Seketika Sakinah terbangun dari tidurnya. Tahulah ia, bahwa apa yang terjadi adalah mimpi. Petunjuk Khusus Cerita a. Nyanyian anak dalam cerita ini bisa diambil atau dipelajarai dari lagu-lagu yang banyak tersebar dan disesuaikan dengan lagu tersebut. Maksudnya, agar guru menyanyikan lagu ini denagan cara alami, dan cara nyanayian seorang ibu kepada anaknya. Anak-anak akan merasa senang dan menyukainya. b. Harus dierhatikan bahwa dalam cerita ini semua tokoh bergerak dan menimbulkan berbagai macam suara; seperti suara sapi, biri-biri, bebek, kucing, dll. Sebaiknya, seorang guru menirukan suara-suara tersebut dalam bercerita, sehingga cerita terasa lebih hidup. c. Tidak menjadi masalah bila para siswa menirukan suara ini ketika mendengar cerita, misalnya “Kemudian Sakinah mendengar suara Kwekk... kwek... kwekk...” ucapan, para siswa lalu meniirukan suara itu. Hal ini akan menambah semangat para siswa dan akan merasakan keikut sertaan mereka bersama guru dalam cerita. Tapi mereka jangan dibiarakan terlalu lama menirukan suara ini sehingga akan memotong jalan cerita. d. Guru tidah cukup hanya menirukan suara tersebut tapi harus disertai gerakan yang mirik dengan hewan yanng ditirukan suaranya. Misalnya, menggepakkan kedua tangan untuk menirukan suara bebek, ketika suaranya ditiru. e. Guru hendaknya tidak lupa untuk memberikan aba-aba kepada siswa ketika cerita akan berakhir. Ini bisa dilakikan guru dengan pengaturan intonasi dalam bercerita. f. Guru bisa meminta para siswa untuk memperagakan sebagian cerita. Seperti pada bagian yang menceritakan ibu tidur bersama anaknya dan ia bermimpi, sapi berbicara kepadanya mengenai anaknya. Atau jika guru menginginkan untuk memperaktikan seluruh cerita maka para siswa akan merasa senang. Apalagi ketika memerankan berbagai macam tokoh hewan. g. Keikutsertaan guru dalam peragaan dengan memerankan tokoh tertentu khususnya yang diamggap sulit oleh para siswa akan menambah hidup suasana dalam cerita dan lebih memotivasi mereka. Cerita ini guru bisa berperan sebagai ibu. h. Mungkin diantara siswa ada yang mengetahui nyanyian anak yang lain maka guru bisa terus memberi semangat kepada mereka untuk dapat menyanyikannya,\. Catatan Akhir a. Disini tidak dituliskan suara khusus yang menyerupai suara istri. Oleh karena itu, guru dapat berusaha menirukannya seperti yang ia kehendaki. Demikian pula suara-suara hewan yang lain. b. Biasanya, anak sebelum usia setahun ada yang sudah bisa berjalan, tetapi putra sakinah masih belum bisa berjalan. 2. Cerita 2 Putri Kelingking Raja Pada zaman dahulu kala, hiduplah seoarang raja beserta istrinya. Usia keduanya mulai beranjak tua, namun mereka belum mempunya anak. Sang Istri terus berdoa kepada Allah agar dikaruniai seorang anak. Tak lama kemudian, ratu pun mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan yang sangat kecil. Besarnya tidak lebih dari kelingking raja. Oleh karena itu, ia diberi nama Putri Kelingking Raja. Raja membuat tempat tidur yang sanagat kecil untuk anaknya. Kira-kira sebesar kotak korek api. Suatu hari, Kelingking Raja tidur di atas tempat tidurnya yang kecil it. Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya dan mendengar suara seekor katak besar mengajaknya berbicara. “Kemarilah, Putri. Tinggalah bersamaku. Kemarilah!” ajak katak besar itu. Kemudian katak melompat ke atas ranjang dan membawa Kelingking Raja. Dinaikannya Kelingking Raja ke atas pundaknya. Ia melompat dari jendela dan berlari sampai ke sebuah kebun. Di sana ia meletakkan Kelingking Raja di ata daun yang tidak jauh dari kolam. “Tunggulah di sini, sampai akau selesai menyiapkan rumah untukmu,” ujar Si Katak. Kemudian ia melompat dan meninggalkan Kelingking Raja sendirian. Si Putri menangis dan menjerit. Ikan-ikan kecil yang berada di air mendengarnya. Lalu ikan-ikan itu berenang menghampiri pohon. Ikan-ikan heran dengan suara asing itu. Mereka belum pernah mendengar sebelumnya. Ketika ikan-ikan itu mendekat, dilihatnya Kelingking Raja yang tertidur dia atas daun. “Mengapa engkau menangis, Putri Kecil?” tanya mereka. Kelingking Raja melihat ikan-ikan itu dan merasa gembira karena melihat bentuk mereka yang lebih baik dari katak. Kemudian Kelingkimg Raja menceriitakan kisahnya kepada ikan. “Aku takut kepada katak itu. Aku tak mau tinggal bersamanya karena bentuknya jelek.” Sang Putri menangis dengan suara keras. Ikan-ikan menghiburnya. “Kami dapat membantumu,” bujuk mereka. Ikan-ikan lalu beranang mengambil selembar daun besar yang jatuh dari sebuah pohon. “Melompatlah ke atas daun ini!” ajak mereka. Kelingking Raja pun melompat. Ikan-ikan berenang dan mendorong daun yang berada di atas air. Kelingking Raja bermaksud mengucapkan terima kasih kepada ikan atas pertolongannya. Tetapi ia tak berani berbicara karena takut Si Katak akan mendengar suaranya, lalu mengejarnya. Ketika Kelingking Raja berada di atas daun itu, ia melihat kupu-kupu yang indah terbang di atas kepalanya. “Hai, kupu-kupu yang indah, kemarilah dan duduk bersamaku di atas daun ini!” kata Si Putri Kecil. Kupu-kupu turun dan duduk disampingnya. Kupu-kupu bertanya mengenai kisahnya. Dan putri pun menceritakannya. “Sebaiknya, pergilah bersamaku,” ajak Kupu-kupu. Kemudian kupu-kupu terbang bersama Putri sampai ke sebuah kebun yang tidak jauh dari sebuah taman. Di sana kupu-kupu meninggalkan Putri untuk mencari makan. Kupu-kupu menghilang dan tinggallah Putri Kelingking Raja sendirian. Ia pun kembali menangis. Di kebun itu terdapat burung dan serangga. Ketika mendengar suara anak menangis, semua mendekat dan bertanya mengenai masalahnya. Kelingking Raja menceritakan kisahnya. Burung-burung merasa iba. Mereka pergi dan membawakan madu yang lezat. Lalu Putri meminumnya. Ia juga minum air embun yang tergenang di atas dedaunan Kelingking Raja terus berada dalam hutan sampai datang musim hujan. Burung-burung berkumpul dan melindunginya. “Selamat tinggal Kelingking Raja. Kami akan pergi ke negeri yang jauh,” kata Burung berpamitan. Setelah burung-burung pergi, tinggallah Kelingking Raja sendirian. Hujan pun turun. Kelingking Raja mencari tempat untuk berlindung. Tikus melihatnya dan menanyakan persoalannya. Putri pun menceritakannya. “Kemarilah, jangan takut,” kata Tikus. “Tinggallah bersamaku di rumahku di bawah tanah. Kau bersihkan dan atur tempatnya. Aku akan datang membawa makanan dan minuman untukmu.” Kelingking raja merasa gembira. Ia pergi bersama tikus ke rumahnya dan tinggal disana. Ia membersihkan dan mengatur tempat itu. Ia gembira karena terhindar dari hujan dan dingin. Tetapi ia merasa tempat tikus terlalu sempit untuk dirinya. Tempat itu juga gelap. Matahari dan udara bebas tidak dapat masuk. Suatu hari, Kelingking Raja keluar dari tempat itu. Ia melihat ke sekelilingnya dan melihat tumukan daun. Ia mengangkatnya. Di bawah tumpukan itu dilihat ada seekor burung pipit. “Burung, kau kelihatan letih dan sangat lelah. Kasihan sekali,” ucap Si Putri. Kemudian ia membalikan burung itu. “Bulumu indah sekali, tapi sayang berjatuhan. Aku akan membuatkan selimut untukmu.” Ditempelkannya daun-daun kering sehingga burung itu merasa hangat. Sayapnya mulai bergerak. Ia mulai bisa terbang dan bernyanyi. Putri sangat senang mendengar nyanyian burung. “Kenapa kamu tinggal di sini sendirian?” kata Pipit. “Mereka meninggalkan ku dalam kedinginan. Aku juga akan pergi sekarang. Terbang ke tempat yang jauh, yang didatangi oleh teman-temanku. Apakah kau akan mau ikut bersamaku pergi ke negara itu?” ajak Pipit. “Bagaimana mungkin?” tanya Putri. “Aku tidak punya sayap sepertimu.” “Naiklah ke punggungku. Aku akan terbang bersamamu,” ujar Pipit. Putri lalu menaiki punggungnya dan mereka terbang di udara. Kemudian sampailah mereka disebuah pohon di samping sebuah rumah besar dan bagus. Burung Pipit turun dan hinggap di sebuah dahan. “Tunggulah di sini, aku akan mencari makanan sebentar. Engkau bisa tinggal di dalam sarang di atas pohon itu.” Pipiy menjelaskan. Burung Pipit meninggalkan Putri Kecil dan terbang dengan cepat. Ketika menunggu burung kembali, Putri melihat ke kiri dan ke kanan. Dilihatnya sesuatu yang mengagetkan! Ia melihat jendela rumah terbuka. Di jendela itu ada seorang perempuan yang sedang menangis. Ia mengingat-ingat perempuab itu. Ia ternyata adalah ibunya. Sang ibu menangis seraya memanggil-manggil anaknya. “Anakku, dimana kamu berada, Kelingking Raja? Di mana kamu?” Seketika itu juga Putri Kelingking Raja menjerit karena gembira. “Aku di sini, ibu! Aku disini!” teriaknya. Ketika mendengar suara itu Ratu berlari menuju pohon. Lalu menjulurkan tangga untuk mengambil putrinya. Ia menciumnya dan meletakannya kembali di ranjang kecilnya. Petunjuk Khusus Cerita a. Tokoh ajaib ini adalah Kelingking Raja. Pertama, karena bentuknya yang kecil. Kedua, karena peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi tokoh yang menarik perhatian para siswa. Guru bisa memberikan penjelasan-penjelasan yang rinci tentangnya. Misalnya, tentang panjang kakinya, panjang tangannya, bunyi suaranya, ukuran pakaiannya, dan makanannya. b. Dalam penyebutan berbagai macam tokoh hewan bisa digambarkan secara umum ciri khas hewan-hewan ini. Misalnya, rumah burung, kotorannya, pembuatan sarangnya, tempat tinggal tikus di ruang yang gelap, dan seterusnya. Pemberian ciri-ciri khas ini akan menambah pengetahuan bagi para siswa secara umum. c. Disebutkan bahwa Kelingking Raja bermaksud berterima kasih kepada ikan-ikan yang telah membawanya. Tapi ia takut jika berbicara akan terdengar oleh Katak. Hal ini bisa menjadi pelajaran buat siswa agar berterima kasih terhadap orang yang telah berbuat baik kepadanya. d. Tidak mudah bagi para siswa untuk memerankan tokoh ini. Untuk itu, guru cukup mengajukan beberapa pertanyaan yang mencakup peristiwa-peristiwa dalam cerita. Pertanyaan disampaikan dengan cepat dan tangkas sehingga tidak mengurangi perhatian para siswa dan tidak menghilangkan semangatnya setelah mendengarkan cerita. e. Tidak mengapa jika guru meminta anak untuk menceritakan sebagian cerita yang lain dan yang lain sebagian lainnya. Hal ini akan melatih anak-anak untuk bercerita dan guru bisa mengetahui penguasaan anak terhadap materi cerita. f. Sebaiknya ketika bercerita anak berdiri di hadapan teman-temannya sehingga mereka bisa melihatnya. g. Apa yang guru lakukan jika siswa melakukan kesalahan ketika bercerita? 3. Cerita 3 Tiga Ekor Kambing Suatu ketika, keluarlah tiga ekor kambing untuk berjalan-jalan. Kambing yang pertama berwarna putih, yang kedua merah, dan yang ketiga hitam. Di tengah perjalanan Si Putih bertemu dengan seorang laki-laki yang membawa seikat jerami. “Bapak yang baik hati, tolong berilah aku jerami itu untung membangun rumahku,” pinta Si Putih. Laki-laki itu memberinya. Si putih pergi dan membangun rumahnya. Ia tinggal dengan riang gembira di sana. Suatu hari datang seekor Serigala “Aku teman ayahmu dan datang untuk mengunjungimu,” bujukan mencari kesempatan. Kambing melihat siapa yang berada di pintu dan ia tahu siapa yang datang.“Aku tidak akan pernah membukakan pintu, engkau musuhku,” ujarnya. “Kalau kau tidak membukakan pintu, aku akan meniupkan angin yang besar agar rumahmu roboh,” ujar Serigala. Kambing merasa takut dan membukakan pintu. Serigala pun masuk dan memangsanya. Adapun kambing yang kedua, Si Merah, ia juga bertemu dengan laki-laki yang membawa seikat jerami. “Tuan yang baik hati, berikanlah jerami itu agar aku bisa membuat rumah,” pinta Si Merah. Laki-laki itu memberinya. Si Merah pergi dan membangun rumahnya. Ia tinggal dengan gembira di sana. Suatu hari datanglah Serigala. Ia mengetuk pintu. “Kambing yang manis, bukalah pintu. Aku teman ayahmu dan datang untunk mengunjungimu,” Serigala kembali membujuk. Kambing melihat siapa yang ada di pintu. “Aku tidak akan membukakan pintu, engkau musuhku.” “Jika engkau tidak membukakn pintu, , aku akan meniupkan angin yang besar agar rumahmu roboh,” ujar Serigala. Kambing merasa takut dan membukakan pintu. Serigala pun masuk dan memangsanya. Adapun Si Hitam, ia bertemu dengan laki-laki yang berjalan dengan unta yang membawa batu bata. “Tuan yang baik hati, berilah aku batu bata itu untuk membangun rumahku,” pintanya dengan sopan. Laki-laki itu memberinya. Si Hitam pun pergi dan membangun sebuah rumah yang kokoh. Ia tinggal di sana dengan senang hati. Pada suatu hari, Serigala datang mengetuk pintu. “Kambing yang manis, bukakan pintu. Aku teman ayahmu dan datang untuk menjengukmu,” bujuk serigala lagi. “Aku tidak akan membukakan pintu, engkau musuhku.” “Jika engkau tidak membukakn pintu, , aku akan meniupkan angin yang besar agar rumahmu roboh,” kata Serigala mengancam. “Tiuplah,” kata Si Hitam menantang. Serigala meniup dan terus meniup, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Rumah itu sangat kokoh. Serigala menjadi marah dan putus asa. “Kambing yang cantik, aku tahu padang rumput yang segar. Mari kita pergi bersama-sama ke sana,” ajak Serigala. “Di mana itu Serigala?” tanya Si Hitam. Serigala menjelaskan tempat padang tersebut. “Kemarilah besok pagi, aku akan pergi bersamamu,” ujar Si Hitam. Serigala menyetujuinya. Pada hari berikutnya, Si Hitam bangun lebih pagi dari waktu yang di janjikan dengan Serigala. Ia pergi ke padang rumput itu lalu segera pulang ke rumahnya. Tak lama kemudian Serigala datang. “Temanku, apakah engkau telah siap untuk pergi ke kebun bersamaku seperti yang kau janjikan?” tanya Serigala. “Aku telah pergi sebelum engkau datang. Sekarang engkau pergilah sendiri,” kata Si Hitam. Serigala menjadi marah karena merasa tertipu. Ia mencari siasat lagi. “Tapi aku tahu pohon bidara, ayolah kita pergi bersama kesana. Buahnya yang manis telah matang.” “Di manakah letak pohon itu?” Serigala pun memberi tahukan tempatnya. “Baiklah,” kata Si Hitam, “kali ini aku akan pergi bersamamu. Kemebalilah besok tepat matahari terbit.” Serigala merasa tenang. “Kali ini engkau tidak boleh menghianatiku. Aku akan datang tepat saat matahari terbit,” kata Serigala mengingatkan. Kemudian ia pergi. Pada hari berikutnya Si Hitam bangun pada waktu fajar. Ia pergi menuju pohon bidara dan bermaksud kembali sebelum Serigala datang. Tetapi ia keasyikan berada di pohon. Ketika turun ia melihat Serigala juga telah datang. “Aku datang kesini lebih dulu untuk memetikan buah untukmu,” Si Hitam berkilah. “Tunggulah aku akan melemparkannya kepadamu.” Kambing itu melempar buah satu persatu. Lalu ia melemparkan sebuah bidara agak jauh dari pohon. Serigala berlari untuk mengambilnya. Ketika itu, Si Hitam segera turun dan berlari pulang ke rumahnya. Namun, Si Hitam tahu bahwa Serigala itu pasti akan datang kerumahnya. Lalu ia memikirkan cara untuk menyelamatkan diri. Ia membuat lubang di atap rumah yang cukup untuk dilalui Serigala. Kemudian ia membawa aperiuk besar yang penuh diisi air, kemudian meletakkannya tepat di bawah lubang, dan menyalakan api di bawah periuk sampai airnya mendidih. Ketika airnya sedang mendidih, datamglah Serigala. “Kenapa engkau berlari teman?” tanya Serigala seraya menahan kesal. “Aku merasa sangat pening. Aku berlari kerumahku untuk beristirahat. Sekarang aku sakit. Maukah kau masuk dan duduk bersmaku sebentar?” kata Si Hitam. Serigala merasa gembira. “Baiklah,” katanya berseri-seri. “Bukalah pintunya!” “Oh, aku sakit sekali. Masuklah dari atap rumah. Di sana ada tempat masuk untukmu.” Kemudian Serigala berlari menuju atap rumah, dan ketika menemukan lubang, langsung ia melompat ke dalam rumah kambing. Ia pun terjatuh ke atas air yang mendidih dan terkelupaslah kulit serta bulunya, lalu ia mati. Setelah itu, Si Hitam melemparkan Serigala keluar rumah untuk menjadi makanan Anjing. Petunjuk Khusus Cerita a. Setelah bercerita guru dapat bertanya kepada para siswa dengan pertanyaan seperti berikut:  Berapa banyak tokoh dalam cerita itu?  Siapa tokoh yang lebih banyak akal? Mengapa?  Siapa tokoh yang kalian benci? Mengapa? b. Cerita ini mudah untuk diperankan, sehingga para siswa bisa memainkannya tanpa keterlibatan guru. Guru cukup mempersiapkan siswa dengan baik sebelum meninggalkan mereka untuk memainkannya sendiri. c. Dengan apa guru membedakan siswa yang memerankan Si Putih dan Si Hitam? Dan ddengan apa membedakan Serigala. d. Cerita ini memberikan tokoh akibat perbuatan yang tidak hati-hati dan lalai seperti kambing putih dan merah. Juga hasil dari kehati-hatian dan menolong temannya seperti yang dilakukan kambing hitam. Bagaimana guru dapat menerapkan nilai-nilai ini kepada para siswa ini sendiri. e. Apakah cerita ini baik untuk dipentaskan pada acara resmi sekolah di hadapan orang banyak? Mengapa? f. Guru dapat memotivasi para siswa untuk menceritakan cerita-cerita yang mirip dengan cerita ini di tempat duduknya, jika mereka dapat melakukannya. 4. Cerita 4 Gunung Tikus Pada zaman dahulu kala, ada sebuah gunung yang sangat tinggi. Para penduduk setempat menamakannya Gunung Tikus, orang-orang mengisahkan cerita yang aneh tentang penamaan gunung ini. Pada suatu ketika, zaman dahulu, selama bertahun-tahun hujan tidak kunjung turun. Sungai mengering. Udara sangat panas. Orang-orang tidak dapat bercocok tanam karena tidak ada air. Pepohonan menjadi kering. Binatang ternak mati karena kelaparan dan kehausan. Sementara di puncak gunung, terdapat sebuah gua. Di sana tinggal seorang laki-laki yang bernama Ja’ran. Ia seorang kakek yang mempunyai janggut putih dan panjang. Rambutnya yang juga putih dan panjang menutupi bahunya. Jalannya bungkuk dan di bantu oleh sebuah tongkat. Ja’ran ini laki-laki yang sangat pelit. Padahal di gunung ini mempunyai gudang-gudang yang penuh dengan gandum, jagung, dan biji-bijian. Setiap pagi orang-orang datang menemuinya. Menangis, menjerit bersama anak-anak dan istri mereka. “Demi Allah paman Ja’ran, kasihanilah dan berilah kami sesuatu yang dapat kami makan,” pinta mereka penuh harap. Tapi Ja’ran adalah orang yang keras hati. Sedikitpun tidak merasa iba dan kasihan. Tak seorang pun yang diberinya makan walau sebiji. Ketika mendengar orang-orang berteriak dan menangis, ia malah tertawa. “Ha... ha... ha... pergilah jauh dariku. Aku ini miskin tak punya apa-apa.” Suatu hari, Ja’ran keluar dari gua dan membawa seruling. Ia meniup serulingnya dan terus meniup. Setiap meniup seruling, orang-orang dari desa berdatangan secara bergerombol. Mereka membawa serta istri juga anak-anaknya. Mereka kemudian berdiri dihadapannya dan menunggu apa yang dikatakannya. Ketika orang-orang telah berkumpul Ja’ran berteriak dan berkata dengan suara yang keras. “Wahai orang-orang desa, dengarlah! Aku akan memberikan makanan yang ada di dalam peti-peti di gudang ini kepada kalian.” Ia lalu berjalan menuju peti-petinya dan membukanya satu per satu. Setiap peti di buka, api menyala dari dalamnya. Begitulah api terus membakar setiap peti dan menghancurkan peti-peti itu beserta seluruh isinya. Orang-orang terpana melihatnya. Mereka berteriak dan menangis. Mereka ingin memasuki gua itu dan mengambil gandum atau biji-bijian lainnya. Tapi semuanya tidak mungkin. Sementara Ja’ran yang berada di tengah kebakaran itu, tertawa terbahak-bahak. “Ini biji-bijian. Ini jagung, ini gandum, ambil semuanya. Aku tidak menginginkannya lagi. Ayo, ambil!” teriaknya sambil terus tertawa. Ketika api terus membakar, ia masuk ke dalam gua. “Sudah, sudah. Semuanya sudah berakhir,” katanya memutuskan. Kemudian ia tertawa lagi, “Ha... ha... ha...” Malam tiba dan mulai gelap gulita. Orang-orang pergi ke rumah mereka dengan sedih dan kecewa. Mereka melewatkan malam dengan derita lapar dan haus. Pada waktu pagi, ketika matahari mulai tampak di ufuk timur orang-orang mendengar suara-suara tikus sayup-sayup dari arah gunung. “Cit... cit... cit...” Suara-suara itu seperti suara burung. Ketika melihat ke arah gunung mereka menemukan beribu-ribu tikus bergerak beriringan. Tikus-tikus itu datang dari berbagai arah penjuru gunung. Dari atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang, dan berbagai sisi, semua berjalan menuju gua. Sementara di depan gua, Ja’rah tengah berdiri. Ketika pasukan tikus itu menyerangnya, dari berbagai penjuru, ia berlari ke dalam gua. Tetapi tikus-tikus itu telah menempel dan menutupi seluruh tubuhnya serta menggigitnya. Ia pun menjerit. Akhirnya, Ja’ran memasuki gua dan ribuan tikus mengikutinya dari belakang dan terus masuk sehingga hampir menutupi seluruh gua. Kemudian, tikus-tikus itu bersembunyi di dalam gua. Hari, bulan, dan tahun berlalu. Sejak saat itu orang-orang tidak lagi melihat tikus satu pun, juga tidak pernah melihat Ja’ran. Demikianlah, sejak saat itu gunung ini disebut gunung tikus. Petunjuk Khusus Cerita a. Guru dapat melakukan langkah-langkah seperti cerita diatas yang bisa di terapkan dalam cerita ini. b. Guru bisa saja tidak menyebutkan judulnya, kemudian guru bisa menanyakan tentang judul tersebut kepada para siswa setelah penceritaan selelsai. Kira-kira apa judul yang pantas untuk cerita tersebut. c. Guru juga dapat bertanya apa saja yang berhubungan dengan cerita tersebut. d. Jika para siswa bertanya apakah cerita ini nyata, guru dapat menjawab bahwa cerita ini hanyalah sebuah dongeng yang dapat kita ambil manfaatnya. e. Guru dapat menyimpulkan hal-hal yang patut di teladani ataupun ditinggalkan berdasarkan cerita yang diceritakannya. 5. Judul-judul Cerita Yang Lainnya. Adapun judul-judul cerita lainnya yang baik dijadikan bahan penceritaan yang terdapat dalam buku ini diantaranya: a. Cerita 5 Ayam Jago Merah dan Musang b. Cerita 6 .....................???? c. Cerita 7 Singa dan Musang d. Cerita 8 Aladin dan Lampu Ajaib (1) e. Cerita 9 Aladin dan Lampu Ajaib (2) f. Cerita 10 Abdullah Si Pemburu g. Cerita 11 Serigala dan Kelinci Keras Kepala h. Cerita 12 Buaya dan Penunggang Unta i. Cerita 13 Putri Siti Hasna dan Pangerab Haidar j. Cerita 14 Musang dan Unta k. Cerita 15 Merpati Pos l. Cerita 16 Orang Kaya dan Orang Miskin m. Cerita 17 Mahjubah Si Pemalas n. Cerita 18 Singa dan Tikus o. Cerita 19 Petani dan Ketiga Anaknya p. Cerita 20 Perempuan Tua dan Kucingnya. q. Cerita 21 Kotak Ajaib r. Cerita 22 Dawud Si Anak Yatim s. Cerita 23 Ismail dan Lima Ekor Ayam t. Cerita 24 Said dan Saidah u. Cerita 25 Musang dan Serigala v. Cerita 26 Tukang Sepatu dan Jin w. Cerita 27 Kucing Belang yang Pincang x. Cerita 28 Tiga Pohon Kurma y. Cerita 29 Gadis Berbunga z. Cerita 30 Cerita tak Berujung BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Bercerita adalah salahsatu keterampilan yang sangat imajinatif dan komunikatif bagi anak. Didalam cerita itu sendiri terdapat muatan-muatan mendidik yang tidak tersirat juga tidak menggurui. Anak pun bisa mencerna sesuai perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap cerita yang dibawakan. Cerita merupakan tuturan yg membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal (peristiwa, kejadian), atau karangan yg menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang; kejadian dsb (baik yg sungguh-sungguh terjadi maupun yg hanya rekaan belaka). Cerita anak adalah cerita yang ditulis untuk anak, yang berbicara mengenai kehidupan anak dan sekitarnya yang mempengaruhi anak, dan tulisan itu hanyalah dapat dinikmati oleh anak dengan bantuan dan pengarahan orang dewasa. Cerita anak adalah cerita yang mencerminkan liku-liku kehidupan yang dapat dipahami oleh anak, melukiskan perasaan, dan menggambarkan pemikiran-pemikiran anak. Pada dasarnya cerita anak merupakan cerita sederhana yang kompleks. Kesederhanaan ini ditandai oleh wacana yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak sulit, sehingga komunikatif. Ternyata dalam pembuatan atau penyampaian cerita tidak semudah yang kita bayangkan ada cara-cara khusus untuk membuat cerita atau menyampaikan cerita supaya cerita tersebut terkesan menarik juga imajinatif atau menumbuhkan imajinasi anak. Dalam membuat atau menyampaikan cerita disarankan untuk disesuaikan dengan kondisi anak tersebut, jangan sampai cerita yang harus diberikan untuk orang dewasa malah diberikan kepada anak kecil. Dalam penyampaian cerita ada beberapa langkah terlebih dahulu yang harus dipersiapkan oleh pencerita, diantaranya: 1. Guru harus mengetahui seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita dengan baik dan jelas. 2. Memahami susunan peristiwa-peristiwa tersebut, hubungan antarperistiwa, dan letak konflik serta bagaimana klimaksnya. 3. Mempelajari dengan baik berbagai tokoh yang berbeda dalam cerita, karakter setiap tokoh, dan bagaimana cara menirukannya dengan baik. 4. Guru juga mengetahui berbagai keadaan emosi dalam cerita dan harus mampu menggambarkan sehingga dapat membekas dihati para siswa. 5. Guru dapat menirukan berbagai macam suara binatang yang disebutkan dalam cerita sehingga ketika mendengar tiruan suara tersebut para siswa langsung dapat mengetahui bentuk binatangnya. 6. Mempersiapkan media yang dibutuhkan untuk ditampilkan ketika cerita barlangsung. Kita tidak mengharapkan banyak biaya dan tenaga yang dikeluarkan dalam pengadaan media tersebut. Cukup dengan media yang sederhana dan mudah didapat. 7. Memikirkan hasil setelah cerita disampaikan. Cerita apa yang digunakan dalam penyampaian cerita, lalu mempelajarinya dan mempersiapkan apa yang dibutuhkan, seperti pertanyaan atau media lainnya. 8. Menuliskan hal-hal penting dalam cerita pada catatan persiapan pelajaran atau dalam sebuah catatan khusus. 9. Guru dapat menyampaikan satu hingga dua cerita dalam seminggu. 10. Waktu menyampaikan cerita hendaknya tidak lebih dari 15 menis untuk tanun I dan II SD atau bisa juga menguranginya. 11. Guru dapat memanfaatkan sebagian waktu bercerita dengan cabang ilmu bahasa yang lain. 12. Guru dapat menentukan tempat cerita ataupun sesuai dengan keinginan anak. 13. Guru dapat mengatur posisi duduk siswa yang sesuai dengan penceritaan, dan supaya memudahkan guru dalam pengawasan. 14. Guru harus menjaga gaya dan tata bahasa yang baik dengan intonasi yang baik pula, dan menampakkan emosi yang benar sesuai dengan isi dalam cerita. Mungkin diantaranya itu yang bisa dilakukan atau dipersiapkan seorang pencerita yang akan bercerita. Adapun petunjuk-petunjuk khusus ketika sedang menyampaikan cerita kepada siswanya, diantaranya: 1. Nyanyian anak dalam setiap cerita bisa diambil atau dipelajarai dari lagu-lagu yang banyak tersebar dan disesuaikan dengan lagu tersebut. Maksudnya, agar guru menyanyikan lagu ini denagan cara alami, dan cara nyanayian seorang ibu kepada anaknya. Anak-anak akan merasa senang dan menyukainya. 2. Harus dierhatikan bahwa dalam cerita semua tokoh bergerak dan menimbulkan berbagai macam suara; seperti suara sapi, biri-biri, bebek, kucing, dll. Sebaiknya, seorang guru menirukan suara-suara tersebut dalam bercerita, sehingga cerita terasa lebih hidup. 3. Tidak menjadi masalah bila para siswa menirukan suara ini ketika mendengar cerita, misalnya “Kemudian Sakinah mendengar suara Kwekk... kwek... kwekk...” ucapan, para siswa lalu meniirukan suara itu. Hal ini akan menambah semangat para siswa dan akan merasakan keikut sertaan mereka bersama guru dalam cerita. Tapi mereka jangan dibiarakan terlalu lama menirukan suara ini sehingga akan memotong jalan cerita. 4. Guru tidah cukup hanya menirukan suara tersebut tapi harus disertai gerakan yang mirik dengan hewan yanng ditirukan suaranya. Misalnya, menggepakkan kedua tangan untuk menirukan suara bebek, ketika suaranya ditiru. 5. Guru hendaknya tidak lupa untuk memberikan aba-aba kepada siswa ketika cerita akan berakhir. Ini bisa dilakikan guru dengan pengaturan intonasi dalam bercerita. 6. Guru bisa meminta para siswa untuk memperagakan sebagian cerita. Seperti pada bagian yang menceritakan ibu tidur bersama anaknya dan ia bermimpi, sapi berbicara kepadanya mengenai anaknya. Atau jika guru menginginkan untuk memperaktikan seluruh cerita maka para siswa akan merasa senang. Apalagi ketika memerankan berbagai macam tokoh hewan. 7. Keikutsertaan guru dalam peragaan dengan memerankan tokoh tertentu khususnya yang diamggap sulit oleh para siswa akan menambah hidup suasana dalam cerita dan lebih memotivasi mereka. Cerita ini guru bisa berperan sebagai ibu. 8. Mungkin diantara siswa ada yang mengetahui nyanyian anak yang lain maka guru bisa terus memberi semangat kepada mereka untuk dapat menyanyikannya, 9. Guru dapat menanyakan kepada anak-anak mengenai hal-hal yang berkaitan dengan cerita. 10. Karena tidak dituliskan suara khusus yang menyerupai suara istri. Oleh karena itu, guru dapat berusaha menirukannya seperti yang ia kehendaki. Demikian pula suara-suara hewan yang lain. 11. Guru bisa saja tidak menyebutkan judulnya, kemudian guru bisa menanyakan tentang judul tersebut kepada para siswa setelah penceritaan selelsai. Kira-kira apa judul yang pantas untuk cerita tersebut 12. Guru dapat menyimpulkan hal-hal yang patut di teladani ataupun ditinggalkan berdasarkan cerita yang diceritakannya. Dan lain sebagainya. Karena itu guru atau pencerita harus benar-benar komunikatif dalam menyampaikan cerita. Sehinnga dapat membawa suasana, membawa para siswa seolah-olah ada dalam cerita tersebut. Dan sanggup memberikan motivasi kepada para siswa untuk menumbahkan rasa percaya diri mereka untuk menyampaikan ulang cerita yang telah disampaikan, dan juga pencerita harus pintar membawa atau memperingatkan para siswa yang kurang pokus ataupun kurang memperhatikan penceritaan pada tanpa harus menghentikan cerita. B. Tanggapan Isi Buku Buku Mendidik Dengan Cerita ini merupakan buku yang sangat berguna apabila dijadikan sebagai panduan oleh seorang guru, orang tua, ataupun siapa saja yang peduli akan pendidikan bercerita ini. Dalam buku ini penulis tidak hanya memaparkan materi bercerita secara umum saja, melainkan penulis dalam buku ini juga menyajikan langkah-langkah yang menarik dan juga imajinatif dalam proses penyampaian cerita. Sehingga para pembaca khususnya guru yang bermaksud ingin memberikan cerita kepada anak didiknya akan sangat terbantu dengan adanya buku ini. Penulis juga memberikan beberapa pesan dan sarang apabila kita bermaksud membuat cerita sendiri. Tambahan kelebihan yang dimiliki buku inii diantaranya penulis menyajikan 30 cerita yang sagat menarik dan penuh insfiratif. Tidak hanya itu, penulis juga memberikan petunjuk-petunjuk khusus pada setiap cerita, untuk memngingatkan kita, apa yang harus kita lakukan atau peragakan berdasarkan cerita tersebut. Dan juga penulis menyarankan beberapa petunjuk yang bisa kita pilih bagaimana baiknya berdasarkan kondisi saaat kita hendak menyampaikan cerita. Didalam cerita itu sendiri terdapat muatan-muatan mendidik yang tidak tersirat juga tidak menggurui. Anak pun bisa mencerna sesuai perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap cerita yang dibawakan. Dan penceritapun bisa memilih cerita yang pantas untuk anak usia tertentu. Akan tetapi setiap kelebihan tidak akan lepas dari kekurangan, adapun kekurangan yang ada dalam buku ini, pembaca akan mengalami beberapa kesulitan dalam memahami bacaan dalam buku ini, dimungkinkan karena buku ini terjemahan dari bahasa arab, jadi mungkin penerjemah agak sulit dalam mencarian kata-kata yang runtut yang mudah dipahami. Jadi diharapkan pembaca dapat membacanya berulang-ulang agar dapat memahami maksud dalam buku ini. Tetapi kita jangan hanya melihat dari kekurangan yang ada dalam buku ini, karena ternyata kelebihan buku ini lebih banyak manfaatnya. Pembaca tidak perlu khawatir akan menyesal apabila membaca buku ini, karena dalam buku ini kita bisa mengambil ilmu yang sangat besar manfaaatnya bukan hanya untuk kita tapi juga bisa berguna untuk orang lain jiga kita bermaksud mengamalkan apa yang kita peroleh dari buku ini. Karena sungguh amal yang tidak diamalkan tidak akan pernah bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar