ILMU KALAM
“BID’AH MENURUT PANDANGAN PARA ULAMA”
Artikel ini di Kerjakan Untuk Memenuhi Salahsatu Tugas Dari
Dosen
Pembingbing : Urwah, S.Hi.M.Si
Di Susun Oleh :
Rahmat Hidayat
2406212028
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS GARUT
TAHUN 2012 – 2013
Kata Pengantar
Sebelumnya
saya panjatkan puji dan syukur kepada tuhan yang maha Esa karena atas berkat
rahmatnyalah saya dapat menyelesaikan Artikel ini sebagai tugas Mata Kuliah
Ilmu Kalam
Dan tidak lupa saya
ucapkan banyak terima kasih kepada:
Bp.Urwah,S.HI,M.SI Dosen Mata Kuliah Ilmu Kalam yang telah memberi
penjelasan dalam membimbing kami sehingga Artikel yang saya susun
dapat selesai
Dan juga yang tidak biasa saya sebutkan
disini yang telah membantu saya dalam membuat Artikel ini dan saya mengucapkan
banyak terimakasih
Penyusun
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada jaman
sekarang bid’ah telah merebak dimana mana melanda umat islam,Bid’ah banyak
member dampak buruk dalam berbagai aspek kehidupan,terutama aspek
agama.Merebaknya bid’ah menjadi musibah kaum muslimin dan mengakibatkan
hilangnya kemuliaan dan kekuatan mereka,hal ini karena dengan banyaknya bid’ah
sehingga kaum muslimin menjadi bercerai berai dan bergolong golongan sehingga
tidak lagi disegani dan ditakuti oleh musuh musuh islam.
setiap
orang tidak mengikuti petunjuk dan tuntunan rosullah saw jelas dia melakukak
kemaksiatan,baik masuk dalam kategori bid’ah maupun tidak hanya saja para ahli
kalamdan lainya menyebutkan bahwa perpecahan tersebut tidak lain adalah
perpecahan yang disebabkan oleh perbuatan bid’ah dalam syariat.
Sesungguh
nya masing masing kelompok tersebut termasuk orang orang yang keluara dari
agama,disebabkan mereka rtelah mengada ngada(perkara baru dalam
agama).Jadi,mereka telah dianggap memisahklan diri dari orang orang islam
secara mutlak,tindakan semacam itu tiada lain adalah sesuatu kekafiran,karena
tidak ada nama lain bagi orang orang yang berlaku semacam itu tapi ada
kemungkinan lainya bahwa mereka keluar dari islam tapi tidak secara
mutlak,meskipun mereka telah keluar dari syariat dan perinsip perinsip islam
Kemungkinan
yang lain lagi,bahwa ada sebagian kelompok yang telah memisahkan diri dari
islam dan ada yang belum memisahkan diri dari islam,mereka masih dihukumi
sebagai golongan islam,meskipun amat parah pernyataannya dan amat jelek
madhabnya tetapi belum sampai kepada derajat kekafiran dan kemurtadan yang
nyata.
Pada era
globalisasi ini umat islam hendakn ya selalu mengukur dan mengevaluasi
diri keberhasilan dakwah islam selama
ini ,keberhasilan dakwah tersebut tentu bukan saja dilihat dari kwantitas dan
semangat ritual umat,segi kwalitas pribadi pribadi muslim,yakni masalah
pelaksanaan aqidah islamiyah sebagai wujud nyata dari pengabdian kepada allah
swt.hendaknya menjadi tolak ukur sebuah keberhasilan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bid’ah
Bid‘ah Dalam Bahasa Arab بدعة dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak
pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum
dari bidaah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan
baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat
dan rukunnya. Secara umum, bid'ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama
(artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah).
a.
Definisi
Bid’ah Menurut Para Ulama
·
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah,Bid’ah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib
maupun sunnah namun yang Allah dan rasul-Nya tidak
syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah
maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat
·
Imam
Syathibi, bid'ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai
syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah
kepada Allah.
·
Ibnu
Rajab, Bid’ah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam
syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah
bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa
·
Imam
as-Suyuthi, beliau berkata, Bid’ah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan
yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang
menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.
·
Harmalah
bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu
ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang tercela[1].
Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang bertentangan
dengan sunnah Nabi itulah yang tercela
b. Macam-macam Bid’ah Menurut
Imam Syafi’i
اَلْبِدْعَةُ
ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ
وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah
yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan
dengan sunnah itulah yang tercela”.
B. Dalil
Al-qur’an dan Hadis tentang Bid’ah
Al-qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S, An-nisaa 59)
Menurut saya ayat ini memang benar bahwa sebagai umat muslim kita
harus mentaati perintah Allah swt dan menjauhi larangannya, dan juga sebagai
umat muslim kita juga harus mentaati Rasul dan ulil amriminkumnya, dan
bahwasanya segala sesuatu yang ada d dalam Alqur’an itu adalah hal yang nyata
dan patut dipercayai karena Al-qur’an itu mutlak dari Allah SWT.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”
(Q.S, Al-an’aam 153)
Menurut Saya Dalam ayat ini Allah SWT
seolah-olah menerangkan bahwa hanyalah ajaran Islam yang paling benar (lurus)
maka disana di jelaskan ikutilah dia (rasul) agar kita selalu berada di jalan yang
lurus, dan akhirnya insyaallah kita akan masuk ke surga.
Hadis
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي
أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ
يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ
بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا
يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ
فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ
ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya
Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada
suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang
menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya
dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan
dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan
sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan
tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan
lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan
hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar
biji sawipun” [HR.
Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ
: مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ،
وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.
Dari
Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang
kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan
sunnah d[2]i
dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam
Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ ”Diriwayatkan oleh
Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan
pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Sesiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami
ini (Islam) apa yang bukan daripadanya maka ianya tertolak”
Sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا
كَثِيرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَالْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada
sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk).
Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham. Jauhilah kamu
perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) kerana setiap yang diada-adakan
itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.
Menurut
saya Maksud “…gigitlah ianya dengan
geraham…” ialah peganglah ianya dengan bersungguh-sungguh serta
bersabarlah dengannya
Abu
Musa al-Asy‘ari radhiallahu 'anh berkata:
صَلَيْنَا المَغْرِبَ مَعَ
رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قُلْنَا: لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّى
مَعَهُ اْلعَشَاءَ قَالَ: فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: "مَا
زِلْتُمْ هَهُنَا؟" قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ صَلَيْنَا مَعَكَ الْمَغْرَبَ
ثُمَّ قُلْنَا: نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلَّى مَعَكَ اْلعِشَاءَ.
قَال:"أحْسَنْتُمْ أَوْ أَصَبْتُمْ" قَالَ: فَرَفَعَ رَأسَهُ إلىَ
السَّماِء وَكانَ كَثِيرْاً مِمَّا يَرْفَعُ رَأسَهُ إلىَ السَّماِء فَقَالَ:
"النُّجُومُ أَمَنَـةٌ للسَّمَاِء فَإذا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتى السَّمَاءَ
مَا تُوْعَدُ، وَأناَ أَمَنَـةٌ لأَصْحَابِى فَإذا ذَهَبْتُ أَتى أَصْحَابِى مَا
يُوْعَدُونَ وَأَصْحَابِى أَمَنَـةٌ لأمَّتِى فَإذَا ذَهَبَ أصْحَابِى أَتى
أُمَّتِى مَا يُوْعَدُون".
“Kami
telah menunaikan solat Maghrib bersama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam. Kemudian kami berkata: “Kalaulah kita tunggu sehingga kita dapat
bersolat Isyak bersama baginda.” Maka kami tunggu sehingga baginda keluar
kepada kami lalu bersabda, “Kamu semua masih di sini?” Jawab kami: “Wahai
Rasulullah! Kami telah menunaikan solat Maghrib bersama engkau kemudian kami
berkata, mari kita duduk sehingga kita dapat bersolat Isyak bersamamu.” Sabda
baginda: “Kamu semua telah melakukan sesuatu yang baik lagi betul.”
Kemudian
baginda mengangkat kepalanya (melihat) ke langit dan ramailah yang mengangkat
kepala (melihat) ke langit lalu baginda bersabda: “Bintang-bintang tersebut
adalah penyelamat langit. Apabila perginya bintang-bintang tersebut maka akan
didatangilah langit apa yang telah dijanjikan untuknya. Aku adalah penyelamat sahabat-sahabatku. Apabila aku telah pergi maka
akan didatangilah sahabat-sahabatku apa yang telah dijanjikan untuk mereka.
Sahabat-sahabatku pula adalah penyelamat umatku. Apabila perginya
sahabat-sahabatku maka akan didatangilah umatku apa yang dijanjikan untuk
mereka.”
Berkata al-Imam al-Nawawi rahimahullah:
Maksud
ungkapan “sahabat-sahabatku
adalah penyelamat umatku”
ialah mereka menyelamatkan umat dari zahirnya bid‘ah, mengada-adakan perkara baru
dalam agama, fitnah terhadap agama, zahirnya syaitan, Rum dan selainnya ke atas
mereka.
‘Abd Allah bin Mas‘ud radhiallahu
'anh adalah sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang begitu
terkenal dengan keilmuan dan kefahamannya dalam agama. al-Imam al-Darimi rahimahullah
(255H) meriwayatkan amaran serta bantahan beliau terhadap bid‘ah berzikir
secara kumpulan yang muncul pada zamannya:
عَنْ عمرو بن سلمة قَالَ: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا
مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ
إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْد؟ُ قُلْنَا: لاَ! فَجَلَسَ مَعَنَا
حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا.
فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي
رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ إِلاَّ خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ, فَسَتَرَاهُ.
قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ
الصَّلاَةَ, فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِيأَيْدِيهِمْ حَصًى, فَيَقُولُ:
كَبِّرُوا مِائَةً, فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً. فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً.
فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً. وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً. فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً.
قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ
رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ.
قَالَ: أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ,
وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا
مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ,
فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ
الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ.
قَالَ: فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ, فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ
حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ, وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ
هَلَكَتَكُمْ! هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُتَوَافِرُونَ, وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ, وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ
مُحَمَّدٍ, أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلاَلَةٍ؟!
قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا
أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ
يُصِيبَهُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا
أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ
اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ
الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
Daripada ‘Amr bin Salamah katanya:
“Satu ketika kami duduk di pintu ‘Abd Allah bin Mas‘ud sebelum solat subuh.
Apabila dia keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang
kepada kami Abu Musa al-Asy‘ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abd al-Rahman
telah keluar kepada kamu?” Kami jawab: “Tidak!”. Maka dia duduk bersama kami
sehingga ‘Abd Allah bin Mas‘ud keluar. Apabila dia keluar, kami semua bangun
kepadanya.
Lalu Abu Musa al-Asy‘ari berkata
kepadanya: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman, aku telah melihat di masjid tadi satu
perkara yang aku tidak bersetuju, tetapi aku tidak lihat – alhamdulilah –
melainkan ianya baik”. Dia bertanya: “Apakah ia?”.
Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu
puak, mereka duduk dalam lingkungan (halaqah) menunggu solat. Bagi setiap
lingkungan (halaqah) ada seorang lelaki (ketua kumpulan), sementara di tangan
mereka yang lain ada anak-anak batu. Apabila lelaki itu berkata : Takbir
seratus kali, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata: Tahlil
seratus kali, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata: Tasbih
seratus kali, mereka pun bertasbih seratus kali.” Tanya ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Apa
yang telah kau katakan kepada mereka?”. Jawabnya: “Aku tidak kata kepada mereka
apa-apa kerana menanti pandangan dan perintahmu”.
Berkata ‘Abd Allah bin Mas‘ud:
“Mengapa engkau tidak menyuruh mereka mengira dosa mereka dan engkau jaminkan
bahawa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun”. Lalu dia berjalan, kami
pun berjalan bersamanya. Sehinggalah dia tiba kepada salah satu daripada
lingkungan berkenaan. Dia berdiri lantas berkata: “Apa yang aku lihat kamu
sedang lakukan ini?” Jawab mereka: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman! Batu yang
dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”. Jawabnya: “Hitunglah
dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para
sahabat Nabi masih lagi ramai, baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan
dan minuman baginda pun belum lagi pecah. Demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya , apakah
kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk daripada agama Muhammad,
atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?”
Jawab mereka : “Demi Allah wahai Abu ‘Abd al-Rahman, kami hanya
bertujuan baik.” Jawabnya : “Betapa ramai yang bertujuan baik, tetapi tidak menepatinya.” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami satu kaum yang membaca al-Quran namun
tidak lebih dari kerongkong mereka. Demi Allah aku tidak tahu,
barangkali kebanyakan mereka dari kalangan kamu.” Kemudian beliau pergi.
Berkata ‘Amr bin Salamah: “Kami
melihat kebanyakan puak tersebut bersama Khawarij memerangi kami pada hari Nahrawan.”
C. Studi
Kasus Bid’ah Tentang Tahlil
a.
Madzhab Hanafi
Hasyiyah Ibn Abidien
Dimakruhkan hukumnya
menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas
disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila
hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan
sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para
sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam
kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama,
ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin,
Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz
II, hal 240)
Al-Thahthawy
Hidangan
dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa
hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU
SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala
Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
b. Madzhab Maliki
Al-Dasuqy
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang
menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy,
Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal
419)
Abu Abdullah Al-Maghraby
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga
mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh
mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian
dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan
tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)…
adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian
dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan
selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta
dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby,
Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II,
hal 228)
c.
Madzhab Syafi’i
Al-Syarbiny
Adapun
penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib
al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun
kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat
dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib
al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal
210)
Al-Qalyuby
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai
dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang
merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai
mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan
makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari
kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz
I, hal 353)
An-Nawawy
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga
mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil
naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan.
(an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR
AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan
makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat,
hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih
dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj
(Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
d. Madzhab
Hambali
Ibn Qudamah Al-Muqaddasy
Adapun
penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit,
hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah
kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai
apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa
Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul
bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”.
Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal
tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat
terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara
tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari
keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr,
1405) juz II, hal 214)
Abu Abdullah Ibn Muflah Al-Muqaddasy
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan
makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila
makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka
hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh;
demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh
keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan
ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih
al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
Abu Ishaq Bin Maflah Al-Hanbaly
Menghidangkan makanan setelah proses
penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram,
kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang
masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly,
al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal
283)
D. Argumentasi Saya Tentang Bid’ah
Realita yang terjadi pada jaman sekarang
kebanyakan orang mempermasalahkan tentang Bid’ah sehingga terjadi perdebatan
sesame Ormas Islam sehingga menjadi perpecahan sesama umat Islam,padahal menurut pandangan saya
sendiri kenapa harus memperdebatkan Bid’ah padahal pada kenyataannya masig
banyak orang-orang yang lalai bahkan tidak melaksanakan kewajiban beribadah
kepada Allah Swt kenapa bukan itu yang di perdebatkan tetapi yang
dipermasalahkan itu adalah dalam cara melaksanakan ibadahnya padahal mau gimana
gimana juga terserah yang melaksanakan karena merekapun punya dalil masing
masing dan semuanya tertuju kepada allah swt. Dan juga pada realita jaman
sekarang kebanyakan orang membicarakan bid’ah dikaitkan dengan budaya/jaman
padahan jika dikaitkan dengan budaya atau jaman menurut saya kalau begitu semua
nya bidah, contohnya makan nasi, kan rosul tidak pernah mencontohkan makan nasi
atau tidak pernah makan nasi melainkan kurma terus conto yang ke dua
berkomunikasi dengan handpon itu juga bias dikatakan bid’ah, juga d dalam
konteks bid’h itu ada juga orang yang membicarakan bahwa tahlilan itu bid’ah,
padahal di dalam tahlil itu kan tujuan orang atau masyarakat itu dengan tahlil
ialah untuk mendo’akan yang sudah meninggal menurut saya itu termasuk bid’ah
hasanah dari pada kita berbuat yang tidak baik atau menangisi orang yang
meninggal lebih baik kita mendoakanya,dan tahlil itu mengajarkan kita bagaimana
cara bersedekah dikala kita lagi terkena musibah kita masih bias member kepada
orang lain apalagi di saat kita dalam keadaan bahagia semoga saja pada saat
kita memberikan sedeekah di waktu tahlil
bisa menjadi kifarat bagi mayit tersebut,dan intinya dari argumentasi
saya adalah janganlah mempermasalahkan hal hal tersebut karena yang membolehkan
ada hadisnya dan yang tidakpun ada hadisnya dan semuanya juga tertuju hanya
kepada allah itu tergantung kita mau melaksanakanya atau tidak,semoga artikel
yang saya buat bisa bermanfaat khususnya bagi pembaca dan mohon maaf apabila
terdapat banyak kesalahan dalam penulisan atau argument saya karena sejatinya
manusia tidak luput dari kesalahan,
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan mengenai pandangan bid’ah menurut
nahdlatul ulama dan muhammadiyah saya dapat mengambil kesimpulan dari
permasalahan diatas
Bid’ah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu yang baru
tanpa ada contoh sebelumnya dengan
demikian maka definisi bid’ah yakni cara baru dalam agama yang dibuat untuk
menyerupai syariat dalam maksud untuk melebihkan ibadah kepada allah swt
Adapun istinbat hokum yang dijadikan landasan hokum oleh
mayoritas nahdatul ulama adalah menganut empat madhab syafi’I sedangkan insinbat hukumnya adalah
al,quran,as sunnah,ijma,aqwalus sahabat atau perkataan sahabat,
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kitab
Sohih Bukhori
2.
Kitab Sohih Muslim
3.
Kitab Sohih Tirmidzi
4.
Al-Qur’an dan Terjemah
5.
Kitab Riadusolihin
[1] Definisi bid’ah menurut Ibnu Taimiyah,Imam
syatibi,Ibnu Rajab,Imam As suyuthi dan Harmalah bin Yahya