Selasa, 29 Januari 2013

BID’AH MENURUT PANDANGAN PARA ULAMA



ARTIKEL
ILMU KALAM
544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpg“BID’AH MENURUT PANDANGAN PARA ULAMA”
Artikel ini di Kerjakan Untuk Memenuhi Salahsatu Tugas Dari Dosen
Pembingbing : Urwah, S.Hi.M.Si








Di Susun Oleh :
Rahmat Hidayat
2406212028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS GARUT
TAHUN 2012 – 2013

Kata Pengantar
544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgSebelumnya saya panjatkan puji dan syukur kepada tuhan yang maha Esa karena atas berkat rahmatnyalah saya dapat menyelesaikan Artikel ini sebagai tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
            Dan tidak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada:
Bp.Urwah,S.HI,M.SI Dosen Mata Kuliah Ilmu Kalam yang telah memberi penjelasan dalam membimbing kami sehingga Artikel yang saya  susun  dapat selesai
Dan juga yang tidak biasa saya sebutkan disini yang telah membantu saya dalam membuat Artikel ini dan saya mengucapkan banyak terimakasih










                                                                                                                                      Penyusun



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgLatar Belakang Masalah
Pada jaman sekarang bid’ah telah merebak dimana mana melanda umat islam,Bid’ah banyak member dampak buruk dalam berbagai aspek kehidupan,terutama aspek agama.Merebaknya bid’ah menjadi musibah kaum muslimin dan mengakibatkan hilangnya kemuliaan dan kekuatan mereka,hal ini karena dengan banyaknya bid’ah sehingga kaum muslimin menjadi bercerai berai dan bergolong golongan sehingga tidak lagi disegani dan ditakuti oleh musuh musuh islam.
setiap orang tidak mengikuti petunjuk dan tuntunan rosullah saw jelas dia melakukak kemaksiatan,baik masuk dalam kategori bid’ah maupun tidak hanya saja para ahli kalamdan lainya menyebutkan bahwa perpecahan tersebut tidak lain adalah perpecahan yang disebabkan oleh perbuatan bid’ah dalam syariat.
Sesungguh nya masing masing kelompok tersebut termasuk orang orang yang keluara dari agama,disebabkan mereka rtelah mengada ngada(perkara baru dalam agama).Jadi,mereka telah dianggap memisahklan diri dari orang orang islam secara mutlak,tindakan semacam itu tiada lain adalah sesuatu kekafiran,karena tidak ada nama lain bagi orang orang yang berlaku semacam itu tapi ada kemungkinan lainya bahwa mereka keluar dari islam tapi tidak secara mutlak,meskipun mereka telah keluar dari syariat dan perinsip perinsip islam
Kemungkinan yang lain lagi,bahwa ada sebagian kelompok yang telah memisahkan diri dari islam dan ada yang belum memisahkan diri dari islam,mereka masih dihukumi sebagai golongan islam,meskipun amat parah pernyataannya dan amat jelek madhabnya tetapi belum sampai kepada derajat kekafiran dan kemurtadan yang nyata.
Pada era globalisasi ini umat islam hendakn ya selalu mengukur dan mengevaluasi diri  keberhasilan dakwah islam selama ini ,keberhasilan dakwah tersebut tentu bukan saja dilihat dari kwantitas dan semangat ritual umat,segi kwalitas pribadi pribadi muslim,yakni masalah pelaksanaan aqidah islamiyah sebagai wujud nyata dari pengabdian kepada allah swt.hendaknya menjadi tolak ukur sebuah keberhasilan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bid’ah
Bid‘ah Dalam Bahasa Arab  بدعة  dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bidaah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya. Secara umum, bid'ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah).
a.       Definisi Bid’ah Menurut Para Ulama
·         Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Bid’ah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah namu544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgn yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat
·         Imam Syathibi, bid'ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.
·         Ibnu Rajab, Bid’ah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa
·         Imam as-Suyuthi, beliau berkata, Bid’ah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.
·         Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang tercela[1]. Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah Nabi itulah yang tercela
b.      Macam-macam Bid’ah Menurut Imam Syafi’i
544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgاَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.
B.     Dalil Al-qur’an dan Hadis tentang Bid’ah
Al-qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S, An-nisaa 59)
Menurut saya ayat ini memang benar bahwa sebagai umat muslim kita harus mentaati perintah Allah swt dan menjauhi larangannya, dan juga sebagai umat muslim kita juga harus mentaati Rasul dan ulil amriminkumnya, dan bahwasanya segala sesuatu yang ada d dalam Alqur’an itu adalah hal yang nyata dan patut dipercayai karena Al-qur’an itu mutlak dari Allah SWT.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
                                                          
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Q.S, Al-an’aam 153)
544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgMenurut Saya Dalam ayat ini Allah SWT seolah-olah menerangkan bahwa hanyalah ajaran Islam yang paling benar (lurus) maka disana di jelaskan ikutilah dia (rasul) agar kita selalu berada di jalan yang lurus, dan akhirnya insyaallah kita akan masuk ke surga.
Hadis
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun” [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah d[2]i dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Sesiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam) apa yang bukan daripadanya maka ianya tertolak”
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
...فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَالْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ   وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk). Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham. Jauhilah kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat.
Menurut saya Maksud “…gigitlah ianya dengan geraham…” ialah peganglah ianya dengan bersungguh-sungguh serta bersabarlah dengannya
Abu Musa al-Asy‘ari radhiallahu 'anh berkata:
صَلَيْنَا المَغْرِبَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قُلْنَا: لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّى مَعَهُ اْلعَشَاءَ قَالَ: فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: "مَا زِلْتُمْ هَهُنَا؟" قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ صَلَيْنَا مَعَكَ الْمَغْرَبَ ثُمَّ قُلْنَا: نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلَّى مَعَكَ اْلعِشَاءَ. قَال:"أحْسَنْتُمْ أَوْ أَصَبْتُمْ" قَالَ: فَرَفَعَ رَأسَهُ إلىَ السَّماِء وَكانَ كَثِيرْاً مِمَّا يَرْفَعُ رَأسَهُ إلىَ السَّماِء فَقَالَ: "النُّجُومُ أَمَنَـةٌ للسَّمَاِء فَإذا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ، وَأناَ أَمَنَـةٌ لأَصْحَابِى فَإذا ذَهَبْتُ أَتى أَصْحَابِى مَا يُوْعَدُونَ وَأَصْحَابِى أَمَنَـةٌ لأمَّتِى فَإذَا ذَهَبَ أصْحَابِى أَتى أُمَّتِى مَا يُوْعَدُون".
“Kami telah menunaikan solat Maghrib bersama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian kami berkata: “Kalaulah kita tunggu sehingga kita dapat bersolat Isyak bersama baginda.” Maka kami tunggu sehingga baginda keluar kepada kami lalu bersabda, “Kamu semua masih di sini?” Jawab kami: “Wahai Rasulullah! Kami telah menunaikan solat Maghrib bersama engkau kemudian kami berkata, mari kita duduk sehingga kita dapat bersolat Isyak bersamamu.” Sabda baginda: “Kamu semua telah melakukan sesuatu yang baik lagi betul.”
Kemudian baginda mengangkat kepalanya (melihat) ke langit dan ramailah yang mengangkat kepala (melihat) ke langit lalu baginda bersabda: “Bintang-bintang tersebut adalah penyelamat langit. Apabila perginya bintang-bintang tersebut maka akan didatangilah langit apa yang telah dijanjikan untuknya. Aku adalah penyelamat sahabat-sahabatku. Apabila aku telah pergi maka akan didatangilah sahabat-sahabatku apa yang telah dijanjikan untuk mereka. Sahabat-sahabatku pula adalah penyelamat umatku. Apabila perginya sahabat-sahabatku maka akan didatangilah umatku apa yang dijanjikan untuk mereka.
Berkata al-Imam al-Nawawi rahimahullah:
Maksud ungkapan sahabat-sahabatku adalah penyelamat umatku” ialah mereka menyelamatkan umat dari zahirnya bid‘ah, mengada-adakan perkara baru dalam agama, fitnah terhadap agama, zahirnya syaitan, Rum dan selainnya ke atas mereka.


‘Abd Allah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh adalah sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang begitu terkenal dengan keilmuan dan kefahamannya dalam agama. al-Imam al-Darimi rahimahullah (255H) meriwayatkan amaran serta bantahan beliau terhadap bid‘ah berzikir secara kumpulan yang muncul pada zamannya:
عَنْ عمرو بن سلمة قَالَ: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْد؟ُ قُلْنَا: لاَ! فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا.
فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ, فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ, فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِيأَيْدِيهِمْ حَصًى, فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً, فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً. فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً. فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً. وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً. فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ.
قَالَ: أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ, وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ, فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ: فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ, فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ, وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ! هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ, وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ, وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ, أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلاَلَةٍ؟!
قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
Daripada ‘Amr bin Salamah katanya: “Satu ketika kami duduk di pintu ‘Abd Allah bin Mas‘ud sebelum solat subuh. Apabila dia keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa al-Asy‘ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abd al-Rahman telah keluar kepada kamu?” Kami jawab: “Tidak!”. Maka dia duduk bersama kami sehingga ‘Abd Allah bin Mas‘ud keluar. Apabila dia keluar, kami semua bangun kepadanya.
Lalu Abu Musa al-Asy‘ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak bersetuju, tetapi aku tidak lihat – alhamdulilah – melainkan ianya baik”. Dia bertanya: “Apakah ia?”. Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu puak, mereka duduk dalam lingkungan (halaqah) menunggu solat. Bagi setiap lingkungan (halaqah) ada seorang lelaki (ketua kumpulan), sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu. Apabila lelaki itu berkata : Takbir seratus kali, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata: Tahlil seratus kali, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata: Tasbih seratus kali, mereka pun bertasbih seratus kali.Tanya ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Apa yang telah kau katakan kepada mereka?”. Jawabnya: “Aku tidak kata kepada mereka apa-apa kerana menanti pandangan dan perintahmu”.
Berkata ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka mengira dosa mereka dan engkau jaminkan bahawa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun”. Lalu dia berjalan, kami pun berjalan bersamanya. Sehinggalah dia tiba kepada salah satu daripada lingkungan berkenaan. Dia berdiri lantas berkata: “Apa yang aku lihat kamu sedang lakukan ini?” Jawab mereka: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman! Batu yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”. Jawabnya: “Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih lagi ramai, baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya , apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk daripada agama Muhammad, atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?” 
Jawab mereka : “Demi Allah wahai Abu ‘Abd al-Rahman, kami hanya bertujuan baik. Jawabnya : “Betapa ramai yang bertujuan baik, tetapi tidak menepatinya.” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami satu kaum yang membaca al-Quran namun tidak lebih dari kerongkong mereka. Demi Allah aku tidak tahu, barangkali kebanyakan mereka dari kalangan kamu.” Kemudian beliau pergi.
Berkata ‘Amr bin Salamah: “Kami melihat kebanyakan puak tersebut bersama Khawarij memerangi kami pada hari Nahrawan.”


C.    Studi Kasus Bid’ah Tentang Tahlil
a.       Madzhab Hanafi
Hasyiyah Ibn Abidien
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)
Al-Thahthawy
544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgHidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
b.      Madzhab Maliki
Al-Dasuqy
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)

Abu Abdullah Al-Maghraby
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
c.       Madzhab Syafi’i
Al-Syarbiny
544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgAdapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
Al-Qalyuby
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)
An-Nawawy
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
d.      Madzhab Hambali
Ibn Qudamah Al-Muqaddasy
544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgAdapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
Abu Abdullah Ibn Muflah Al-Muqaddasy
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
Abu Ishaq Bin Maflah Al-Hanbaly
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)
D.    Argumentasi Saya Tentang Bid’ah
544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgRealita yang terjadi pada jaman sekarang kebanyakan orang mempermasalahkan tentang Bid’ah sehingga terjadi perdebatan sesame Ormas Islam sehingga menjadi perpecahan sesama  umat Islam,padahal menurut pandangan saya sendiri kenapa harus memperdebatkan Bid’ah padahal pada kenyataannya masig banyak orang-orang yang lalai bahkan tidak melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah Swt kenapa bukan itu yang di perdebatkan tetapi yang dipermasalahkan itu adalah dalam cara melaksanakan ibadahnya padahal mau gimana gimana juga terserah yang melaksanakan karena merekapun punya dalil masing masing dan semuanya tertuju kepada allah swt. Dan juga pada realita jaman sekarang kebanyakan orang membicarakan bid’ah dikaitkan dengan budaya/jaman padahan jika dikaitkan dengan budaya atau jaman menurut saya kalau begitu semua nya bidah, contohnya makan nasi, kan rosul tidak pernah mencontohkan makan nasi atau tidak pernah makan nasi melainkan kurma terus conto yang ke dua berkomunikasi dengan handpon itu juga bias dikatakan bid’ah, juga d dalam konteks bid’h itu ada juga orang yang membicarakan bahwa tahlilan itu bid’ah, padahal di dalam tahlil itu kan tujuan orang atau masyarakat itu dengan tahlil ialah untuk mendo’akan yang sudah meninggal menurut saya itu termasuk bid’ah hasanah dari pada kita berbuat yang tidak baik atau menangisi orang yang meninggal lebih baik kita mendoakanya,dan tahlil itu mengajarkan kita bagaimana cara bersedekah dikala kita lagi terkena musibah kita masih bias member kepada orang lain apalagi di saat kita dalam keadaan bahagia semoga saja pada saat kita memberikan sedeekah di waktu tahlil  bisa menjadi kifarat bagi mayit tersebut,dan intinya dari argumentasi saya adalah janganlah mempermasalahkan hal hal tersebut karena yang membolehkan ada hadisnya dan yang tidakpun ada hadisnya dan semuanya juga tertuju hanya kepada allah itu tergantung kita mau melaksanakanya atau tidak,semoga artikel yang saya buat bisa bermanfaat khususnya bagi pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam penulisan atau argument saya karena sejatinya manusia tidak luput dari kesalahan,



BAB III
KESIMPULAN
544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgA. Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan mengenai pandangan bid’ah menurut nahdlatul ulama dan muhammadiyah saya dapat mengambil kesimpulan dari permasalahan diatas
Bid’ah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya  dengan demikian maka definisi bid’ah yakni cara baru dalam agama yang dibuat untuk menyerupai syariat dalam maksud untuk melebihkan ibadah kepada allah swt
Adapun istinbat hokum yang dijadikan landasan hokum oleh mayoritas nahdatul ulama adalah menganut empat madhab syafi’I  sedangkan insinbat hukumnya adalah al,quran,as sunnah,ijma,aqwalus sahabat atau perkataan sahabat,










DAFTAR PUSTAKA
1.      544410_224661374300175_1814285113_n(1).jpgKitab Sohih Bukhori
2.      Kitab Sohih Muslim
3.      Kitab Sohih Tirmidzi
4.      Al-Qur’an dan Terjemah
5.      Kitab Riadusolihin


[1] Definisi bid’ah menurut Ibnu Taimiyah,Imam syatibi,Ibnu Rajab,Imam As suyuthi dan Harmalah bin Yahya
1.Hr muslim No 50
Cara Membuat Animasi Loading Pada Blog 2013